|
untuk mencari judul skripsi yang di inginkan
Wednesday, May 2, 2012
konsep pendidikan humanis dalam perspektif islam dan implementasinya dalam proses belajar mengajar | Contoh Skripsi
Penulis : -
Kode :170
Judul : Konsep Pendidikan
Humanis Dalam Perspektif Islam Dan Implementasinya Dalam Proses Belajar
Mengajar
-------------------------------------------------
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan
memiliki peranan yang sangat penting dan strategis untuk menjamin kelangsungan
dan perkembangan kehidupan bangsa. Dalam hal ini, pendidikan harus dapat
menyiapkan warga negara untuk menghadapi masa depannya. Dengan demikian tidak
salah apabila orang berpendapat bahwa celah tidaknya masa depan suatu negara sangat
ditentukan oleh pendidikannya saat ini.Contoh Skripsi
Komentar yang menyoroti mutu pendidikan sudah
sejak lama dilontarkan oleh pengamat pendidikan. Meskipun mengacu pada
indikator yang berbeda, mereka sependapat bahwa mutu pendidikan kita masih
rendah. Perbincangan mengenai rendahnya mutu pendidikan memang belum dan tidak
akan kunjung selesai, karena banyaknya variabel yang mempengaruhi mutu
pendidikan. Mencari masalah tersebut agaknya seperti mengurai benang kusut yang
sulit dicari ujung dan pangkalnya.Contoh Skripsi
Pendidikan harus mampu menciptakan
manusia-manusia yang siap dan eksis untuk hidup di tengah-tengah perubahan yang
ada. Sehingga manusia tidak ikut lebur dalam arus yang menerpanya, malainkan
mampu mengendalikan arus perubahan, kemana kehidupan sebuah masyarakat akan
dikendalikan.
Bagaimana pun, pendidikan
merupakan salah satu kunci yang sangat esensial dalam kehidupan manusia. Baik
buruknya sumber daya manusia tergantung dari pendidikan yang diperolehnya. Jika
pendidikan yang diperoleh seseorang memiliki kualitas yang mumpuni, maka baik
juga sumber daya manusia yang dimilikinya. Karena itu, desain pendidikan
selayaknya dipersiapkan secara matang sehingga hasil yang dicapai pun
memuaskan.[1]
Karena proses pendidikan merupakan suatu proses yang yang bertujuan. Meskipun
tujuannya bukan merupakan tujuan yang tertutup (eksklusif) tetapi tujuan
yang secara terus-menerus harus terarah kepada pemerdekaan manusia.[2]
Ada
pandangan yang agak klasik dan menjadi pandangan wacana publik dikalangan ahli
pendidikan, yaitu pandangan mengenai pendidikan sebagai proses humanisasi atau
biasa disebut dengan proses pemanusiaan manusia. Pemahaman terhadap konsep ini
memerlukan renungan yang sangat mendalam, sebab apa yang dimaksud dengan proses
pemanusiaan manusia tidak sekedar yang bersifat fisik, akan tetapi menyangkut
seluruh dimensi dan potensi yang ada pada diri dan realitas yang mengitarinya.
Sebagaimana yang dikatakan H.A.R. Tilaar, bahwa hakikat pendidikan adalah
proses memanusiakan anak manusia, yaitu menyadari akan manusia yang merdeka.
Manusia yang merdeka adalah manusia yang kreatif yang terwujud di dalam
budayanya.[3]
Anda dapat memiliki word/file aslinya
Hanya mengganti biaya administrasi pengelolaan webite sebesar, 50.000,- MURAH Meriah
Anda tidak repot lagi mencari referensi.
Hal ini sejalan dengan UU
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, yang berbunyi :
“Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”[4]
Namun hingga saat ini menurut Sulaeman, pendidikan belum
mampu mencapai titik idealnya yakni memanusiakan manusia, yang terjadi justeru sebaliknya yakni menambah rendahnya
derajat dan martabat manusia. Eksistensi yang sebenarnya menjadi hak milik secara
mutlak untuk survive dan mengendalikan hidup, ternyata hilang dan kabur
bersama arus yang menerpanya. Makna pendidikan yang belum terealisasikan ini
menurutnya terkait dengan situasi
sosio-historis dan kondisi lingkungan yang melingkupinya. Seperti halnya
penjajahan yang dilakukan Barat (kaum kolonialisme) terhadap bangsa Indonesia
selama berabad-abad ternyata membawa dampak yang sangat serius terhadap pola
pikir dunia pendidikan, sehingga amat berpengaruh juga terhadap proses
pendidikan yang berlangsung. Salah satu dampak yang paling buruk dari
kolonialisme yang telah melanda negara jajahan-bukan Indonesia saja melainkan
semua negara jajahan khususnya negara-negara Islam adalah dengan munculnya
sebuah masyarakat kelas “elit” yang lebih tepat
disebut sebagai “anak-anak yang tertipu”. Produk dari sistem pendidikan
(Barat) yang “mengagumkan” ini didesain untuk membentuk sebuah kelas yang
tercerabut dari tradisi budaya dan moralnya.[5]
Sehinga para elit yang
terbaratkan, yang tercerabut dari akar budayanya melihat Barat dengan rasa kagum yang teramat
besar seakan-akan Barat adalah segala-galanya. Akibatnya, mereka membuang
jauh-jauh budaya yang humanis untuk diganti dengan budaya materialis dan
hedonis, yang makna kebertahanannya tidak lagi terealisasikan dalam tindak dan
perilaku sehari-harinya.[6]
Rangkaian uraian di atas
menggambarkan bahwa pendidikan yang berlangsung sampai saat ini dapat dinilai
belum mampu menyadarkan manusia akan dirinya. Sehingga pendidikan tidak dapat
memberikan kontribusi kepada manusia untuk meningkatkan derajatnya yaitu tetap
eksis dan berada di depan dalam membawa segala perubahan. Padahal pendidikan
seharusnya telah menampakkan hasil yang memuaskan, tatkala manusia sudah
semakin yakin bahwa pendidikan adalah institusi yang mampu membentuk
karakter-karakter manusia yang ditandai dengan semakin tumbuh dan berkembangnya
potensi dasar manusia tersebut. Sehingga manusia dapat mengenal dirinya
sendiri, alam, dan Tuhannya. Hal ini dikarenakan potensi yang dimiliki manusia
bukan hanya sekedar potensi dalam hal minat-bakat dan berpikir, tetapi yang
lebih luas lagi yaitu potensi bermasyarakat dan beragama (ber-Tuhan).
Kondisi pendidikan yang
belum mampu menjadi fasilitator menuju pengembangan potensi tersebut,
diperparah lagi oleh sosial-politik yang mengitarinya. Pendidikan kita justru
digunakan sebagai alat indoktrinasi berbagai kepentingan, baik kepentingan
politik yang akhirnya menuju pada pelanggengan kekuasaan (status quo),
ilmu pengetahuan dan teknologi yang melampaui batas sehingga menggeser dan
tidak menghargai eksistensi manusia maupun kepentingan agama dengan
sentimen-sentimennya untuk mengklaim dirinya sebagai satu-satunya agama yang
benar dan menganggap agama lain salah tanpa disertai sikap inklusif dan
pluralis, yang pada gilirannya menjadikan agama rawan konflik.
Hal tersebut diperparah lagi dengan budaya nasional
yang kurang selaras apabila diaplikasikan dalam dunia pendidikan, serta sangat
menghambat untuk perkembangan pendidikan di Indonesia. Ada empat aspek budaya nasional yang tidak
selaras tersebut dan perlu direformasi.[7] Pertama,
prinsip kepatuhan total (principle of total obedience). Prinsip
ini masih tinggi dipegang oleh para pendidik. Dalam prinsip ini, seorang murid
harus patuh secara total terhadap perintah, tugas dan pernyataan guru yang
bersangkutan, tanpa boleh membantah, berdebat atau mengelak. Akibatnya, sistem
pendidikan seperti berlaku dalam garis komando militer. Ketika murid berbuat
salah, ia akan menerima hukuman dan ganjaran tanpa bisa menolak.
Kedua, budaya tidak melontarkan pertanyaan
atau berpikir menentang (unquestioning mind). Seorang murid dituntut
tidak boleh tampak lebih pintar dari gurunya dalam penguasaan suatu materi
pelajaran. Sehingga, ketika seorang murid mengetahui penjelasan yang
disampaikan gurunya salah teori atau salah kutip, ia harus diam. Jika berani
sok pintar lebih dari guru, maka sang guru akan merasa tersinggung dan menekan
murid tersebut dengan pemberian niali tes yang tidak adil.
Ketiga, yang lebih tua mengetahui semuanya (elders
know all). Bahwa orang yang lebih tua mengetahui banyak hal dan banyak
ilmu. Kebanyakan orang Indonesia
sungkan untuk membantah, berdebat dan berbeda pendapat dengan para guru, bos
atau yang lebih tua, karena perasaan sungkan yang berlebihan. Kultur yang terkonstruk
di masyarakat telah menjadikan manusia-manusia penakut dengan alasan etika dan
kesopanan.
Keempat, guru tidak mungkin berbuat salah (teachers
can do wrong). Prinsip ini diamini dengan adanya filosofi guru yaitu yang
digugu dan ditiru. Ini karena guru dinilai merupakan figure teladan masyarakat.
Sebagai figur ia tidak mungkin melakukan kesalahan atau kecerobohan.
Keempat aspek tersebut
memang agak sulit dilepaskan dari insan pendidik dan juga dari masyarakat pada
umumnya. Padahal jika kita memahami hakekat pendidikan, seperti yang
dikemukakan H.A.R. Tilaar di atas, sebenarnya ada dua pemahaman tentang
definisi pendidikan. Pertama, adalah proses pewarisan, penerusan atau
enkulturasi dan sosialisasi perilaku sosial yang telah menjadi model anutan
masyarakat lingkungannya secara baku.
Kedua, adalah sebagai upaya fasilitatif yang memungkinkan terciptanya
situasi atau potensi-potensi dasar yang dimiliki oleh anak yang dapat dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka pada suatu zaman dan dimana mereka
harus survival
Adapun dua pemahaman di
atas mempunyai implikasi yang sangat luas terhadap praktek-praktek pendidikan,
termasuk pendidikan agama. Sebab pewarisan seringkali diterjemahkan sebagai
usaha mencetak anak didik dengan sebuah utopia tertentu yang bersifat statis.
Sedangkan anggapan kedua lebih memungkinkan bagi anak didik untuk menemukan
profil dirinya sendiri yang lebih aktual dalam kontek lingkungan dan kurun
waktu tempat mereka sedang mengambil peran dalam panggung sejarahnya sendiri
Dalam pengamatan penulis,
kedua pemahaman dan sekaligus orientasi pendidikan di atas tidak menjadi
persoalan. Artinya, baik pemahaman pertama maupun kedua meskipun tidak
dijalankan secara bersama-sama akan tetap membuahkan hasil yang memuaskan.
Karena memang pendidikan juga harus diarahkan
pada pewarisan tradisi, terutama tradisi yang baik sekaligus diiringi
sikap kritis. Tetapi jika keduanya selalu dipertentangkan, dan tidak dijalankan
secara bersama-sama maka mengakibatkan kepincangan dalam dunia pendidikan, khususnya
dalam hal tujuan yang akan dicapai. Pada satu sisi, hanya bersifat penerusan
suatu tradisi tanpa disertai wawasan untuk memecahkan persoalan hidup dan
mencapai hidup, sedangkan sisi kedua, hanya mengandalkan skill untuk
menciptakan sesuatu, sehingga anak tidak dapat mengatasi persoalan yang ada di
depannya dan berkompetisi dalam kehidupannya, yang akhirnya menjadi
“robot-robot” bernyawa.
Karena itu sudah saatnya
dua pemahaman tentang pendidikan tersebut untuk dilebur menjadi satu dan
dilaksanakan secara bersama-sama (integral). Sehingga antara pengetahuan
tentang nilai-nilai yang ada dengan kemampuan untuk membuat sesuatu yang
berguna dalam kehidupannya dan jiwa berpikir ke depan dapat terinternalisasi
dalam diri seseorang.
Perlu dipahami, bahwa
pendidikan pada dasarnya adalah kerja budaya, yang tidak hanya indentik dengan
penyelenggaraan proses belajar mengajar di sekolah. Namun pendidikan mencakup
semua lingkup belajar yang lebih luas, yaitu bagaimana seorang anak melakukan
reproduksi kebudayaannya dalam proses zaman yang berubah. Dengan demikian, anak
adalah aktor dan subyek yang melakukan akulturasi dan enkulturasi kebudayaannya
dalam bersosialisasi dengan masyarakatnya. Sebagai subyek kebudayaannya,
seorang anak tidak hanya berusaha mempelajari dan mengamalkan nilai-nilai,
norma-norma dan kebiasan masyarakat, tapi juga dalam proses itu adakalanya
mempertanyakan, meragukan bahkan kalau perlu memberontak terhadap sesuatu yang
mapan
Dalam kerangka inilah,
Kartono mengajukan sebuah sistem demokrasi sebagai pilihan, baik pilihan sistem
pendidikan maupun sistem politik. Sehingga memunculkan kesadaran diri untuk
berbangsa dan bernegara dan mampu membawa cita-cita modernisasi bangsa.[8]
Namun pendidikan yang berlangsung selama ini di Indonesia
cenderung didasarkan pada pola keseragaman (uniformitas), yang tidak
menghargai keunikan anak manusia (pluralitas). Keunikan seorang atau
sekelompok manusia dipandang sebagai suatu keanehan dan bahkan keburukan yang
harus dihindari. Anggapan semacam inilah yang sebenarnya harus dihindarkan
dalam dunia pendidikan.
Di lain sisi, dalam
pandangan Mulkhan, sentralisasi pendidikan yang tejadi selama ini, menciptakan
kesadaran atas nilai modernitas tentang keseragaman dan tidak berharganya
keunikan manusia dan anak didik. Hal ini menyebabkan manusia kehilangan jati diri
dan kepekaan sosialnya. Profesionalisme dan mutu keunggulan kemanusiaan lebih
terkonsentrasi kekuasaan di Jakarta.
Dunia pendidikan menjadi tergantung pada pusat kekuasaan yang menempatkan dan
menjadikannya sebagai alat politik dan kebudayaan, bukan praktek politik dan
kebudayaan itu sendiri.
Selain itu, fenomena
konflik, kekerasan, keberingasan dan kesadisan dalam semua kehidupan dewasa ini
telah menunjukkan fenomena kemanusiaan yang lebih serius dalam peradaban modern.
Menurut Mulkhan, manusia bukan hanya menghadapi keterasingan dan dehumanisasi
modernitas tetapi hilangnya semangat kemanusiaan. Manusia kehilangan dunia
kemanusiaannya. Hal ini bukan hanya diakibatkan karena rendahnya interaksi
sesama, tetapi akibat kompleksitas interaksi yang artifisial (budaya meniru).
Interaksi hubungan sosial menjadi suatu yang “terpaksa” dilakukan sebagai
kebiasan yang rutin tanpa kesadaran rasa kemanusiaan yang mendalam.
Sebuah prinsip yang harus
dipegang dalam pendidikan khususnya pendidikan Islam yakni pengembangan belajar
sebagai muslim baik bagi terdidik maupun pendidik. Setiap rangkaian belajar
mengajar harusnya ditempatkan sebagai pengkayaan pengalaman kebertuhanan.
Pendidikan bukanlah sosialisasi atau internalisasi pengetahuan dan keberagaman
pendidik, tetapi bagaimana peserta didik mengalami sendiri keber-Tuhanan-nya.
Ketaqwaan dan keshalehan bukanlah sikap dan perilaku yang datang secara
mendadak, tetapi melalui sebuah tahap penyadaran yang harus dilakukan sepanjang
hayat. Karena itu, pendidikan tidak lain sebagai proses penyadaran diri dan
realitas universum.[9]
Karena pendidikan (Islam)
berupaya membawa manusia pada penyadaran kehidupan bermasyarakat dan bertuhan.
Manusia seharusnya disibukkan pada kehidupan yang kongkrit (dunia) tanpa
melupakan yang abstrak (akhirat), suatu kehidupan yang seimbang menuju sa’adah
al darain (kebahagiaan dunia akhirat) tersebut (QS. al-Qashash/28: 77).
Manusia harus memikirkan siapa dirinya, lingkungannya dan Tuhannya beserta
relasi-relasi yang ditimbulkan atas kebertuhananya itu. Bukan hanya mengurusi
dirinya sendiri dengan melupakan sesamanya atau hanya memikirkan dan mengurusi
dirinya dan manusia lain dengan melupakan Tuhan atau juga hanya mengurus Tuhan
sehingga melupakan kewajiban dunianya. Manusia harus sadar bahwa dalam dirinya
terdapat potensi yang besar untuk melakukan tindakan yang kejam dan tidak
manusiawi. Apabila hal ini tidak diikuti dengan kesadaran bertuhan maka tidak
dapat dibayangkan apa yang akan terjadi di dunia ini, akankah dunia tetap
bertahan dengan prilaku menusia yang senantiasa menggerogotinya?
Analisa yang diberikan Mulkhan tentang kelalaian
dalam proses pendidikan (Islam) barang kali bisa
memberikan titik terang, menurutnya hal tersebut disebabkan oleh pijakan-pijakan
yang digunakannya. Pendidikan seharusnya melihat dan mengambil pengalaman dari
proses kehidupan-kehidupan yang berlangsung. Selama ini, masyarakat dihinggapi
sebuah asumsi bahwa kehidupan masyarakat tradisional dianggap tidak mampu
memecahkan problematika kehidupan. Karenanya, masyarakat kemudian menggantinya
dengan modernitas, yang justru pada saat ini kita merasakan kebobrokannya
karena modernitas telah menempatkan manusia jauh dari dirinya, sebagai akibat
pola berpikir yang sangat materialistis dan logika materialisme yang menjadi
ciri modernitas tersebut.
Mulkhan sangat
menyayangkan, bahwa basis tradisional yang sarat dengan nilai-nilai
demokratisasi kini diganti dengan nilai-nilai modernitas tanpa pijakan yang
manusiawi, yang pada akhirnya menjauhkan manusia dari dirinya dan lingkungan
serta Tuhannya. Sebenarnya, kesadaran tradisional lebih mendorong tumbuhnya
keunikan kebudayaan yang lebih manusiawi. Pendidikan sebagai praktek
modernisasi menjadi praktek dehumanisasi dan penindasan kemanusiaan. Modernitas
telah membelah kesatuan dan memutus mata-rantai kontinum realitas materil
hingga spiritual-metafisik.[10]
Dalam menghadapi situasi
demikianlah, kemudian Mulkhan banyak memberikan sorotan dan kritik terhadap
proses pendidikan yang berlangsung dewasa ini. Mulkhan menginginkan proses
belajar mengajar yang diarahkan pada tumbuhnya kreatifitas dan kemandirian anak
didik dalam menghadapi segala perubahan dengan upaya menempatkan pendidikan
sebagai sebuah proses pemanusiaan manusia. Karena itu menurutnya, pendidikan
harus didasarkan kepada keunikan personalitas anak manusia.
Pandangan terhadap fenomena pendidikan di atas memberikan inspirasi pada
penulis untuk lebih jauh mengungkap pikiran-pikiran para praktisi pendidikan
yang dituangkannya dalam beberapa buku dan artikel yang banyak menyorot
berbagai persoalan kontemporer yang dilandaskan pada kerangka kemanusiaan atau
pemuliaan manusia yang didasarkan kepada potensi yang dimilikinya. serta
bagaimana cara menyikapi sebuah bentuk pluralitas sebagai sebuah keniscayaan
yang ada dalam masyarakat, diakui ataupun tidak. Karenanya, penulis ingin meneliti lebih jauh tentang
konsep pendidikan yang humanis. Sehingga
memberi judul penulisan ini dengan judul: konsep pendidikan humanis
dalam perspektif islam dan implementasinya dalam proses belajar mengajar
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, maka focus
masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut :
1.
Bagaimana konsep
pendidikan humanis?
2.
Bagaimana perspektif
Islam tentang konsep pendidikan humanis?
3.
Bagaiamana implementasinya
dalam proses belajar mengajar?
Anda dapat memiliki word/file aslinya
Hanya mengganti biaya administrasi pengelolaan webite sebesar, 50.000,- MURAH Meriah
Anda tidak repot lagi mencari referensi.
Di jamin asli.contohmakalah
[1] A.
Syafi’I Ma’arif et. al., 1991. Pendidikan Islam di Indonesia
antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana, h. 15.
[2]
H.A.R. Tilaar, 2005. Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan dari Perspektif
Postmodernisme dan Studi Kultural, Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, h. 119.
[3]
Ibid, h. 112.
[4]
Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasiononal,diperbanyak
oleh Penerbit Citra Umbara Bandung, h. 76.
[5] Sulaeman
Ibrahim, 2000. Pendidikan Sebagai Imperialisme dalam Merombak Pola Pikir
Intelektualisme Muslim, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, h. 81.
[6] Ibid,
h. 83-89.
[7]
Prambudiyono, Reformasi: Empat Aspek Budaya Nasional dalam Dunia Pendidikan,
MPA 145/Oktober 1998, h. 28.
[8] Kartini
Kartono, 1992. Pengantar Ilmu Pendidikan: Apakah Pendidikan Masih
Diperlukan, Bandung:
Mandar Maju, h. 93.
[9] Abdul
Munir Mulkhan, 1998. Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren:
Religiusitas IPTEK, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, h. 111-112.
[10] Abdul
Munir Mulkhan, 2002. Nalar Spiritual Pendiudikan, Solusi Problem Filosofis
Pendidikan Islam, Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana, h. 180-188.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2
SELAMAT DATANG
terimakasih telah berkunjung
KUMPULAN JUDUL TESIS MANAJEMEN KLIK
KUMPULAN JUDUL TESIS STUDI AGAMA ISLAM KLIK
KUMPULAN JUDUL Keperawatan KLIK
KUMPULAN JUDUL Tesis PAI USA KLIK
KUMPULAN JUDUL TESIS AHWAL SYAHSHIYAH KLIK
KUMPULAN JUDUL TESIS PENDIDIKAN GURU MADRASAH KLIK
MOHON MAAF JIKA PENGUNJUNG TERGANGGU DANGAN IKlAN :-)
sekiranya mengganggu segera di tutup saja
alhamdulilah, blog dikunjungi 400 orang / hari :-)
kami adalah jasa pencari referensi ILMIAH
hub.0857-351-08864
terimakasih telah berkunjung
KUMPULAN JUDUL TESIS MANAJEMEN
KUMPULAN JUDUL TESIS STUDI AGAMA ISLAM
KUMPULAN JUDUL Keperawatan
KUMPULAN JUDUL Tesis PAI USA
KUMPULAN JUDUL TESIS AHWAL SYAHSHIYAH
KUMPULAN JUDUL TESIS PENDIDIKAN GURU MADRASAH
MOHON MAAF JIKA PENGUNJUNG TERGANGGU DANGAN IKlAN :-)
sekiranya mengganggu segera di tutup saja
alhamdulilah, blog dikunjungi 400 orang / hari :-)
hub.0857-351-08864
No comments:
Post a Comment