SILAHKAN GUNAKAN FASILITAS "SEARCH" pojok kanan atas
untuk mencari judul skripsi yang di inginkan

pemesanan => Hub: 0857-351-08864

Tuesday, September 20, 2011

modernisasi pendidikan pesantren dalam perspektif azyumardi azra


Penulis : -
Kode     : 060
Judul     :  modernisasi pendidikan pesantren dalam perspektif azyumardi azra
 -------------------------------------------------




BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah

Salah satu lembaga pendidikan yang mempunyai kekhasan tersendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan yang lainnya adalah pesantren. Di tinjau dari segi historisnya, Pesantren merupakan bentuk lembaga pribumi tertua di Indonesia. Pesantren sudah dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka, bahkan sejak Islam masuk ke Indonesia, pesantren terus berkembang sesuai dengan perkembangan dunia pendidikan pada umumnya.
Ada dua pendapat mengenai awal berdirinya pondok pesantren di Indonesia. Pendapat pertama menyebutkan bahwa pondok pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri dan pendapat kedua menyatakan bahwa sistem pendidikan model pondok pesantren adalah asli Indonesia.[1]
 Model pendidikan pesantren yang berkembang di seluruh Indonesia mempunyai nama dan corak yang sangat bervariasi, di Jawa disebut pondok atau pesantren, di aceh di kenal rangkang dan di Sumatra Barat dikenal dengan nama Surau. Nama yang sekarang lazim diterima oleh umum adalah pondok pesantren.
Pesantren sebagai komunitas dan sebagai lembaga pendidikan yang besar jumlahnya dan luas penyebarannya di berbagai plosok tanah air telah banyak memberikan peran dalam membentuk manusia Indonesia yang religius. Lembaga tersebut telah melahirkan banyak ke pemimpinan bangsa Indonesia di masa lalu, kini dan agaknya juga di masa datang. Lulusan pesantren telah memberikan partisipasi aktif dalam pembangunan bangsa.
Peran pesantren di masa lalu kelihatannya paling menonjol dalam hal menggerakkan, memimpin dan melakukan perjuangan dalam rangka mengusir penjajah. Di masa sekarang juga amat jelas ketika pemerintah mensosialisasikan programnya dengan melalui pemimpin-pemimpin pesantren. Pada masa-masa mendatang agaknya peran pesantren amat besar Misalnya, arus globalisasi dan industrialisasi telah menimbulkan depresi dan bimbanganya pemikiran serta suramnya prespektif masa depan maka pesantren amat dibutuhkan untuk menyeimbangakan akal dan hati.[2]    
 Di kalangan umat Islam sendiri nampaknya pesantren telah dianggap sebagai model institusi pendidikan yang memiliki keunggulan baik dari aspek tradisi keilmuannya yang merupakan salah satu tradisi agung maupun sisi transmisi dan internalisasi moralitas umat Islam. Malik Fajar menegaskan bahwa, Dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia tidak dipungkiri bahwa pesantren telah menjadi semacam local genius[3]
Hal ini menunjukkan bahwa peran pesantren telah merambah ke segala bidang bahkan telah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional kita, maka sangat keliru sekali ketika ada anggapan peran pesantren sangat kecil dan rendah dalam menyukseskan program pembangunan nasional.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang memiliki akar secara historis yang cukup kuat sehingga menduduki posisi relatif sentral dalam dunia keilmuan. Dalam masyarakatnya Pesantren sebagai sub kultur lahir dan berkembang seiring dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat global, Asketisme ( faham Kesufian) yang digunakan pesantren sebagai pilihan ideal bagi masyarakat yang dilanda krisis kehidupan sehingga pesantren sebagai unit budaya yang terpisah dari perkembangan waktu, Menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Peranan seperti  ini yang dikatakan Abdurrahman Wahid : “Sebagai ciri utama pesantren sebuah sub kultur.”[4]
Kehadiran pesantren dikatakan unik karena dua alasan yakni pertama, pesantren hadir untuk merespon terhadap situasi dan kondisi suatu masyarakat yang dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral atau bisa disebut perubahan sosial. Kedua, didirikannya pesantren adalah untuk menyebar luaskan ajaran universalitas Islam ke seluruh pelosok nusantara.[5]
Disamping itu, ada usaha coba-coba untuk mendorong pesantren agar membina diri sebagai basis bagi upaya pengembangan pedesaan dan masyarakat yang di mulai pada awal-awal tahun tujuh puluhan yang pada saat ini telah berkembang menjadi usaha keras dan besar-besaran untuk transformasi sosial,  Menurut Abdurrahman wahid "peranan pesantren sebagai pelopor transformasi sosial seperti itu memerlukan pengujian mendalam dari segi kelayakan ide itu sendiri, di samping kemungkinan dampak perubahannya terhadap eksistensi pesantren".[6]
Adanya gagasan untuk mengembangkan pesantren merupakan pengaruh program modernisasi pendidikan Islam. Program modernisasi tersebut berakar pada modernisasi pemikiran dan institusi Islam secara keseluruhan. Modernisasi pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan dengan kebangkitan kaum muslimin di masa modern. Maka pemikiran dan kelembagan Islam termasuk pendidikan (pesantren) haruslah dimodernisasi yaitu diperbaharui sesuai dengan kerangka modernitas. Dengan kata lain, mempertahankan pemikiran kelembagaan Islam tradisional akan memperpanjang nestapa ketertinggalan umat Islam dalam kemajuan dunia modern. Hal ini memunculkan pertanyaan bagi Azra. "bagaimana sesungguhnya hubungan antara modernisasi dan pendidikan, lebih khusus dengan pendidikan Islam di Indonesia?"[7]  
Sebenarnya gagasan pembaharuan pesantren di Indonesia diperkenalkan oleh kaum modernis dengan gagasan sekolah model Belanda pada tahun 1924. Pembaharuan pada waktu itu ditentang banyak oleh kaum konservatif (kyai) dikarenakan model sekolah-sekolah itu dapat memukul akar kekuasaan kyai yang terdalam. Namun semangat kaum modernis tidak dapat dibendung, mereka dengan hati-hati dalam programnya mendesak perlunya pengajaran mata pelajaran modern dengan cara- cara modern, mereka memasukkan Islam sebagai suatu mata pelajaran modern dan membuatnya sebagai bagian yang yang tak terpisahkan dari kurikulum sekolah.[8]   
Pesantren Mambaul Ulum di Surakarta mengambil tempat paling depan dalam merambah bentuk respon pesantren terhadap Ekspansi pendidikan Belanda dan pendidikan modern Islam. Peantren Mambaul Ulum yang didirikan Susuhunan Pakubuwono ini pada tahun 1906 merupakan perintis dari penerimaan beberapa mata pelajaran Umum dalam pendidikan pesantren. Menurut laporan inspeksi pendidikan belanda pada tahun tersebut, pesantren mambaul ulum telah memasukkan mata pelajaran membaca (tulisan latin), Aljbar, dan berhitung kedalan kurikukulmnya. Respon yang sama tetapi dalam nuansa yang sedikit berbeda terlihat dalam pengalaman Pondok Modern Gontor. Berpijak pada basis system dan kelembagaan pesantren, pada 1926 berdirilah Pondok Modern Gontor. Pondok ini selain memasukkan sejumlah mata pelajaran Umum kedalam kurikulumnya, juga mendorong para santrinya untuk memelajari Bahasa Inggris (selain bahasa Arab) dan melaksanakan sejumlah kegiatan ekstra kurikulker seperti olahraga, kesenian dansebagainya.[9]

Modernisasi di manapun telah mengubah berbagai tatanan dan lembaga tradisional (pesantren). Salah satu di antaranya adalah semakin pudarnya fungsi lembaga Islam. Pudarnya fungsi lembaga keagamaan tradisional dalam kehidupan modern merupakan penjelas perubahan posisi sosial, ekonomi dan politik elite Muslim yang dibangun di atas kekuasaan dan legitimasi keagamaannya. “Pemikiran Islam kontemporer merupakan upaya elite muslim memperoleh legitimasi agama atas posisi sosial, ekonomi dan politiknya dalam lembaga sekuler.”[10]
Munculnya kesadaran di kalangan pesantren dalam mengambil langkah-langkah pembaharuan untuk menjawab tantangan dan kebutuhan transformasi sosial. Misalnya timbul pembaharuan kurikulum dan kelembagaan pesantren yang berorientasi pada kekinian sebagai respon dari modernitas. Bagi Azyumardi Azra perlu dikaji ulang gagasan tersebut, sebab bukan tidak mungkin orientasi semacam itu akan menimbulkan implikasi negatif terhadap eksistensi dan fungsi pokok pesantren. “Pesantren harus menumbuhkan apresiasi yang sepatutnya terhadap semua perkembangan yang terjadi di masa kini dan mendatang, sehingga dapat memproduksi ulama yang berwawasan luas.”[11]
Walaupun-walaupun pesantren sudah banyak yang mengadakan perubahan-perubahan mendasar, namun Zamaksyari Dhofier menilai perubahan tersebut masih sangat terbatas. Menurutnya ada dua alasan utama yang menyebabkan, yaitu pertama, para kyai masih mempertahankan dasar-dasar tujuan pendidikan pesantren, yaitu bahwa pendidikan pada dasarnya ditujukkan untuk mempertahankan dan menyebarkan Islam. Kedua, mereka belum memiliki staf sesuai dengan kebutuhan pembaharuan untuk mengajarkan cabang-cabang pengetahuan umum.[12]
Hasyim Muzadi menambahkan dalam menghadapi realitas kekinian, kita tidak harus skeptis dalam menerapkan metodologi dan tidak usah mengacak-acak modernitas, atas nama keharusan perubahan itu sendiri. Tradisi menjadikan agama bercokol dalam masyarakat harus lebih kreatif dan dinamis sebab mampu bersenyawa dengan aneka ragam unsur kebudayaan. Sedangkan modernitas tetap perlu guna terobosan-terobosan baru di bidang pemikiran atau IPTEK tidak sampai tersandung. “Maka harus ada kesesuaian antara penguasaan materi agama dengan kemampuan nalar, sehingga ada sinergi antar keduanya, jangan sampai doktrin agama dimaknai secara sempit.”[13]
Apa yang diungkapkan Hazyim Muzyadi mirip dengan apa yang dimaksud oleh Muhammad Abduh mengenai tujuan Pendidikan dalam arti luas yaitu " Mencakup aspek akal (kognitif) Dan Aspek spiritual (Afektif)". Disini Abduh menginginkan terbentuknya pribadi yang mempunyai Struktur jiwa yang seimbang, yang tidak hanya menekankan pekembangan akal tetapi juga perkembangan spiritual.[14]  
Dinamika keilmuan pesantren dipahami Azyumardi Azra sebagai fungsi kelembagaan yang memiliki tiga peranan pokok. Pertama, transmisi ilmu pengetahuan Islam. Kedua, pemeliharaan tradisi Islam. Ketiga, pembinaan calon-calon ulama. Keilmuan pesantren lebih mengutamakan penanaman ilmu dari pada pengembangan ilmu. Hal ini terlihat pada tradisi pendidikan pesantren yang cenderung mengutamakan hafalan dalam transformasi keilmuan di pesantren.[15]
Tradisi pesantren yang memiliki keterkaitan dan keakraban dengan masyarakat lingkungan diharapkan dapat menciptakan suatu proses pendidikan tinggi yang melibatkan seluruh anggota masyarakat. Dengan demikian terciptalah masyarakat belajar, sehingga ada hubungan timbal balik antar keduanya.“Di sini masyarakat telah berperan serta dalam pendidikan di pesantren, sehingga pesantren dapat memahami masalah-masalah yang dihadapi masyarakat untuk mencarikan alternatif pemecahannya.”[16]
Pesantren telah berjasa besar dalam menumbuhkan masyarakat swadaya dan swasembada. “Penempatan pesantren  sebagai pendidikan formal jalur sekolah yang dikembangkan pemerintah sebagai modernisasi pendidikan telah memudarkan ciri pesantren yang bebas, kreatif, berswadaya dan berswasembada.”[17] Kekhawatiran tersebut sangat beralasan karena adanya sentralisasi dan birokratisasi pendidikan nasional serta campur tangan yang dilakukan pemerintah.Contoh Skripsi
Perjalanan pendidikan Islam tradisional khususnya pesantren telah begitu panjang. Ketika arus globalisasi telah membawa perkembangan sosial kultur masyarakat yang semakin maju, maka tak heran ketika problem yang dialami pesantren sebagai pendidikan semakin kompleks, sehingga Azra meneliti tentang adanya permasalahan yang dihadapi sistem pemikiran dan pendidikan Islam yaitu pertama, berkenaan dengan situasi riil sistem pemikiran dan sistem pendidikan Islam, yaitu krisis konseptual. Krisis konseptual dimaksudkan tentang bagaimana persis dan sepatutnya secara epistimologi menjelaskan ilmu- ilmu empiris atau ilmu- ilmu alam dari kerangka epistimologi Islam.[18]
Adanya dikotomi tersebut, Ismail Rozi Al-Faruqi pernah mengungkapkan bahwa faktor penyebab kelesuan intelektualisme Islam yaitu, proses penyempitan makna fikih serta status fakih yang jauh berbeda dengan pendiri madzab, pertentangan antara wahyu dan akal, keterpisahan kata dan perbuatan, serta sekulerisme dalam memandang budaya dan agama.[19]
Pemilahan yang terjadi di kalangan masyarakat muslim tidak hanya dalam lapangan keagamaan saja, tetapi juga dalam bidang lain termasuk sosial, ekonomi dan politik. Misalkan : wong cilik – abangan – kolot/modern dengan priyayi – santri- kolot/modern, dan santri kolot dengan santri modern sehingga dalam masyarakat Islam sendiri ada pertentangan yang intens.16
Dalam konteks masyarakat muslim Indonesia juga terjadi pemilahan antara Islam tradisionalis dan Islam modernis. Di sini Islam modernis diwakili oleh Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain; dengan Islam tradisionalis diwakili oleh NU dan sebagainya. “Dikotomi tersebut secara struktural telah membawa perubahan-perubahan dalam pergerakan Islam selama beberapa dasa warsa akhir-akhir ini.”[20]
Permasalahan kedua, yaitu krisis lembaga. Krisis lembaga ini adanya dikotomisasi antara lembaga-lembaga pendidikan yang menekankan pada salah satu ilmu saja apakah itu ilmu agama atau ilmu umum. Menurut Azyumardi Azra, “pengintegrasian antara ilmu umum dengan ilmu agama dalam upaya rekonstruksi ilmu harus melalui perumusan yang jelas, yaitu bagaimana ilmu-ilmu eksakta diajarkan dalam kerangka Islami. Bagaimana memberikan warna Islam terhadap ilmu-ilmu yang bersifat umum.”[21]Contoh Skripsi
Sejalan dengan Nurcholis Madjid :
Bagaimana menempatkan kembali ilmu pengetahuan dan teknologi ke dalam daerah pengawasan nilai agama, moral dan etika. Karena pada prinsipnya asal mula semua cabang ilmu pengetahuan adalah berpangkal pada ilmu agama. Pada masa Islam klasik, para intelektual Islam mampu mengembangkan dan mengislamkan ilmu pengetahuan modern. Misalkan ada nama ilmu pengetahuan dan teknologi modern Barat berasal dari bahasa Islam.[22]

Para intelektual muslim pada masa Islam klasik hanya lahir dari satu lembaga yaitu madrasah atau pesantren tanpa ada pemilahan madrasah yang umum atau agama.
Persoalan ketiga yaitu krisis metodologi. Kecenderungan lembaga-lembaga pendidikan Islam lebih merupakan proses teaching, proses pengajaran ketimbang proses learning, proses pendidikan. “Pengajaran hanya mengedepankan aspek kognitif, tetapi tidak mengisi aspek pembentukan pribadi dan watak.”[23]
Penggunaan metode pendidikan Islam adalah bagaimana seorang pendidik dapat memahami hakikat metode dan relevansinya dengan tujuan utama pendidikan Islam, yaitu terbentuknya pribadi yang beriman yang senantiasa siap sedia mengabdi kepada Allah SWT dan bagaimana pendidik dapat mendorong anak didiknya menggunakan akal pikirannya dalam mempelajari kehidupannya dan alam sekitar.[24]
Arus globalisasi telah mempengaruhi segalanya dan merupakan tantangan tersendiri yang harus dihadapi oleh pesantren yaitu bagaimana  merespon segala perubahan yang terjadi di dunia luarnya tanpa merubah dan meninggalkan identitas pesantren itu sendiri. Sehingga pesantren tetap eksis di tengah-tengah masyarakat modern.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi masalah pokok dalam tulisan ini adalah :
1.      Bagaimana modernisasi kelembagaan pesantren dalam perspektif Azyumardi Azra ?
2.      Bagaimana modernisasi kurikulum pesantren dalam perspektif Azyumardi Azra ?
3.      Bagaimana modernisasi metodologi pesantren dalam perspektif Azyumardi Azra ?


[1] DEPAG RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah,Pertumbuhan dan Perkembangannya (Jakarta : Dirjen Kelembagaan Islam Indonesia, 2003) , 7.          
[2] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Prespektif Islam (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2001), 192.

[3] Malik Fajar,  Visi Pembaruan Pendidikan Islam  (Jakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia /LP3NI;1998), 126.

[4] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, Esai-Esai Pesantren (Yogyakarta : LKIS Yogyakarta, 2001), 10

[5] Said Aqil Siradj (et.al), Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren (Bandung : Pustaka Hidayah, 1999), 202.

[6] Abdurrahman Wahid." Prospek Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan" Dalam Sonhaji Shaleh (terj); Dinamika Pesantren,Kumpuln Makalah Seminar Internasional, The Role of Pesantren in Education and Community Development in Indonesia” (Jakarta : P3M, 1988), 279.

[7] Ayumardi Azra , Pendidikan Islam,Tradisi dan Modernisasi Menuju Melinium Baru (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2000), 31.
                          
[8] Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1983), 250.

[9] Azra,Pendidikan Islam….Op. Cit, 102.

[10]  Abdul Munir Mulkan,  Paradigma Intelektual Muslim, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah (Yogyakarta :SIPRESS, 1993), 127.

[11] Azyumardi Azra,Pendidikan islam….Op.cit, 51

[12]  Zamakhsyari Dhofier,  Tradisi Pesantren, Studi Tentang  Pandangan Hidup Kyai (Jakarta : LP3ES 1994), 39

[13] Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama, di Tengah Agenda Persoalan Bangsa (Jakarta : Logos, 1999), 121.

[14]  Abdul Kholik (at.al), Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta : Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang Dan Pustaka Pelajar,1999), 189.

[15] Azyumardi Azra, Esai-Esai Intelektual Muslim Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), 89.

[16] Ibid, 108.

[17] Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan, Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam (Yogyakarta :  PT. Tiara Wacana Yogya, 2002), 180.

[18] Azra,  Pendidikan Islam…..Op. Cit, 41

[19] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta : Gama Media, 2002), 5.

[20] Azyumardi Azra, Islam Reformis, Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), 61.



===================================             
Anda dapat memiliki word/file aslinya
Silahkan download file aslinya setelah menghubungi admin….. klik disini
 Hanya mengganti biaya administrasi pengelolaan webite sebesar,  50.000,- MURAH Meriah
                                                     Anda tidak repot lagi mencari referensi.
                                                     Di jamin asli.contohmakalah






[21] Azyumardi Azra, Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pendidikan Islam, dalam Abdul Munir Mulkhan (et.al), Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren, Religiutas IPTEK, (Yogyakarta : Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga dan Pustaka Pelajar, 1998), 82.

[22] Yasmadi, Modernisasi Pesantren : Kritikan Nurcholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional (Jakarta : Ciputat Press, 2002), 126.

[23] Azra, Rekonstruksi Kritis.…Op. Cit, 84.

[24] Muhaimin, Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam : Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya (Bandung : Trigenda Karya, 1993), 230.

No comments:

Post a Comment

1

2










                 KLIK

translet


Tags

tempat sharing

Blog Archive

Blog Archive