SILAHKAN GUNAKAN FASILITAS "SEARCH" pojok kanan atas
untuk mencari judul skripsi yang di inginkan

pemesanan => Hub: 0857-351-08864

Monday, September 26, 2011

analisis nilai edukatif dalam novel ”love in pesantren” karya shachree m. daroini sebagai reformulasi pola interaksi guru dan murid di pesantren

Penulis : -
Kode     : 070
Judul     : analisis nilai edukatif dalam novel ”love in pesantren” karya shachree m. daroini sebagai reformulasi pola interaksi guru dan murid di pesantren
-------------------------------------------------



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Pendidikan bukanlah kata yang asing di telinga masyarakat awam sekalipun. Karena seiring dengan laju perkembangan zaman, masyarakat Indonesia semakin tersadarkan tentang pentingnya pendidikan. Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali, mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka. Di dalam GBHN tahun 1973 disebutkan bahwa ”Pendidikan hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup”. Ada beberapa pendapat lain mengenai definisi pendidikan.
            Dictionary of Education menyebutkan bahwa pendidikan adalah proses di mana seseorang mengembangkan kemampuan sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di dalam masyarakat dimana ia hidup, proses sosial dimana orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah) sehingga dia dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimum. [1]
            John Dewey: Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia karena pendidikan merupakan proses pengalaman. Setiap manusia menempuh kehidupan baik fisik maupun rohani. Karena kehidupan adalah pertumbuhan, maka pendidikan merupakan proses yang membantu pertumbuhan batin tanpa dibatasi usia.
            Ki Hajar Dewantara: Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak untuk memajukan kehidupan anak didik selaras dengan dunianya. Dalam pendidikan diberikan tuntunan oleh pendidik kepada pertumbuhan anak didik untuk memajukan kehidupannya. Maksud pendidikan ialah menuntun segala kekuatan kodrati anak didik menjadi manusia dan anggota masyarakat yang mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.[2]

      Dari sini, kita bisa melihat bahwasanya pendidikan dimaksudkan untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki anak didik agar bisa bermanfaat untuk dirinya sendiri, masyarakat dan negara. Pelaksanaan pendidikan pun tidak serta merta berjalan apa adanya. Karena pendidikan merupakan kebutuhan, maka perlu ada strategi-strategi khusus, perencanaan yang matang, dan pelaksanaan yang profesional. Dalam pendidikan sendiri terdapat tujuh komponen yang inheren yakni: tujuan, kurikulum, metode, guru, murid, lingkungan, dan evaluasi.
Secara eksplisit, tertuang dalam UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 BAB II (tentang dasar, fungsi dan tujuan) Pasal 3 yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan kita adalah yang tersebut di bawah ini:
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis secara bertanggung jawab.[3]
           
Dari perumusan tujuan di atas, semakin menegaskan bahwa pendidikan merupakan sarana yang mutlak diperlukan untuk mencapai kesejahteraan dan kemuliaan hidup.Contoh Skripsi
Dan seiring dengan laju perkembangan zaman, banyak kita lihat berbagai lembaga pendidikan mulai tumbuh dan berkembang. Baik yang mengusung semangat nasionalis, agamis maupun yang mengintegralkan keduanya, seperti munculnya SMP Islam, SMA Katholik dan sebagainya. Salah satu bentuk lembaga pendidikan Islam yang berkembang pesat di Indonesia adalah pondok pesantren.
Pesantren, merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang mempunyai kekhasan tersendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Pendidikan di pesantren meliputi pendidikan Islam, dakwah, pengembangan kemasyarakatan dan pendidikan lainnya yang sejenis. Para peserta didik di pesantren disebut dengan santri dan mereka menetap di suatu tempat yang disebut pondok. Ditinjau dari segi historisnya, pondok pesantren adalah bentuk lembaga pendidikan pribumi tertua di Indonesia. Pondok pesantren sudah dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka, bahkan sejak Islam masuk ke Indonesia terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan dunia pendidikan pada umumnya. Sebuah lembaga yang bernama pondok pesantren adalah suatu komunitas tersendiri, di dalamnya hidup bersama-sama sejumlah orang yang dengan komitmen hati dan keikhlasan mengikat diri dengan kiai, tuan guru, buya, ajengan, abu atau nama lainnya, untuk hidup bersama dengan standar moral tertentu, membentuk kultur atau budaya tersendiri.[4]Contoh Skripsi
Nurcholish Madjid menyatakan bahwa dalam pondok pesantren haruslah ada lima elemen pokok, yakni; kyai, santri, masjid, pondok, dan pengajaran kitab-kitab klasik. Kelima elemen tersebut merupakan ciri khusus yang dimiliki pesantren dan membedakannya dengan pendidikan pada umumnya.[5] Jumlah Pondok pesantren yang terdata oleh Education Management Information System (EMIS) Departemen Agama, tahun 2000/ 2001 sebanyak 11.312 dengan santri sebanyak 2.737.805.[6]
Imam Banawi menyatakan bahwa keberadaan seorang kyai dalam lingkungan pondok pesantren laksana jantung kehidupan bagi manusia. Intensitas kyai memperlihatkan peran yang otoriter disebabkan kyai-lah perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin, dan bahkan pemilik tunggal pondok pesantren. Oleh sebab ketokohan di atas, banyak pondok pesantren yang kehilangan kharisma dan aura, bahkan bubar lantaran ditinggal wafat sang kyai.[7]
Namun, seiring dengan semakin bertambahnya jumlah santri dalam sebuah pesantren, kyai tidak bisa berdiri sendiri untuk mengayomi seluruh santri. Oleh karena itu, kyai banyak dibantu oleh para guru (ustadz dan ustadzah) dalam menggerakkan roda pendidikan di tubuh pesantren. Dalam skripsi ini, penekanan lembaga pendidikan yang dimaksud adalah guru dan murid yang terlibat dalam pendidikan sekolah, dimana sekolah itu sendiri menjadi otoritas pesantren. Sehingga semua kebijakan, baik terkait anggaran, mata pelajaran, bahkan seragam dan lain-lain ditentukan oleh kebijakan pesantren sebagai pengayomnya.Contoh Skripsi
Posisi guru di lingkungan pesantren adalah sebagai sosok yang digugu lan ditiru. Hal ini selama berabad-abad menjadi satu paradigma yang mengakar di kalangan santri selaku murid.  Pengejawantahan kitab ta’limul muta’allim yang sporadis membuat pondok pesantren menanamkan nilai-nilai sakti semisal; murid harus sam’an wa to’atan (mendengarkan dan taat), sendhiko dhawuh dengan satu iming-iming klasik, apalagi kalau bukan barokah. Adanya doktrin-doktrin inilah yang seringkali menjadikan murid mandek, stagnan dan tidak kritis. Mereka dituntut untuk menerima segala pengetahuan yang dicekokkan pada mereka sebagai kebenaran mutlak yang tidak bisa diganggu gugat. Sebagai contoh, guru kurang memberikan stimulus bagi murid di sekolah dalam lingkungan pesantren untuk bersikap kritis, stimulasi yang diberikan seringkali hanya merupakan pemanis bibir agar seolah-olah memberikan ruang kritis bagi murid. Namun jika seorang murid memiliki pandangan berbeda dengan sang guru, guru akan segera menilai bahwa si murid-lah yang salah. Dalam hal mengajukan pertanyaan kritis, guru pun kurang terbuka bahkan enggan memberikan komentar. Contoh lain, dalam menerapkan hukuman, seperti yang dicontohkan dalam novel ini, bergaya militer dan semena-mena. Guru seolah berhak menghukum murid dalam bentuk apapun sedang sang murid dilarang protes lantaran protes itu akan menyebabkan ketidakbarokahan atau dianggap melawan dan bertentangan dengan nilai-nilai luhur dalam kitab ta’limul muta’allim. Padahal, dalam kitab ta’limul muta’allim juga dijelaskan bahwa seorang guru harus berbudi luhur, berdada lebar, dan penyabar.[8] Pemahaman yang tidak komprehensif terhadap kitab ta’limul muta’allim menjadikan sebagian guru yang seharusnya memiliki sifat welas asih, demokratis dan sebagainya, justru menjadi sosok yang bisa jadi memenggal progresifitas, memancung pluralitas, dan membunuh dialektika dan dinamika keilmuan yang senantiasa berkembang.Contoh Skripsi
Pada akhirnya, realitas semacam itulah yang membuat banyak pihak melontarkan kritik terhadap pola pendidikan di pesantren. Banyak yang menyatakan bahwa akar dari berkembangnya pola interaksi semacam itu adalah dilestarikannya pengajian ta’limul muta’allim yang diyakini sebagian orang telah tidak relevan dengan tuntutan pendidikan era global karena hanya memposisikan murid sebagai objek dan guru dipandang sebagai seseorang yang berdiri di menara gading dan sangat elitis. Padahal, interaksi guru dan murid merupakan hal yang vital dalam mendukung keberhasilan pendidikan. Pola interaksi guru-murid yang baik, akan menciptakan suasana belajar yang edukatif dan menyenangkan. Sebaliknya, pola interaksi yang terlampau formal menyebabkan kerenggangan hubungan antara guru-murid yang berdampak pada suasana belajar yang cenderung menengangkan dan kaku. Sehingga, dapat dikatakan bahwa dalam interaksi guru dan murid inilah terjadi proses edukasi dan sosialisasi.
Kritik tajam perihal interaksi di tubuh pesantren yang cenderung otoriter, kurang demokratis dan memposisikan murid sebagai objek didik tak hanya dilisankan dalam forum-forum diskusi tapi juga melalui tulisan-tulisan yang tersebar di berbagai media, dalam bentuk fiksi maupun non fiksi. Salah satu dari banyak tulisan yang mengkritik habis pola interaksi guru-murid adalah novel Love in Pesantren karya Shachree M. Daroini yang notabene alumni pondok pesantren.
Banyak kritik yang kemudian lahir dari tangan-tangan kreatif yang bisa mensintesiskan antara realitas yang terjadi di lapangan dengan imajinasi sehingga membuahkan novel yang menurut kami apik, kritis, sekaligus mampu membuat kita tersenyum bahkan merasa diolok-olok. Kedekatan dan relevansi novel Love in Pesantren karya Shachree M. Daroini dengan realitas interaksi guru-murid yang berkembang di sekolah dalam lingkungan pesantren inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengadakan analisis novel yang tertuang dalam judul: ANALISIS NILAI EDUKATIF DALAM NOVEL ”LOVE IN PESANTREN” KARYA SHACHREE M. DAROINI SEBAGAI REFORMULASI POLA INTERAKSI GURU DAN MURID DI PESANTREN.
Yang paling kami harapkan dari skripsi ini adalah, agar bisa menjadi satu bahan refleksi yang mengena tanpa menggurui sehingga pola interaksi guru dan murid di sekolah yang berada dalam otoritas pesantren pada masa-masa mendatang menjadi lebih demokratis dan humanis.
B. Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
  1. Apa saja nilai-nilai edukatif yang terdapat dalam novel ”Love in Pesantren” karya Shachree M. Daroini?
  2. Apa saja hal-hal yang kurang relevan terkait pola interaksi guru dan murid di pesantren dalam novel ”Love in Pesantren” karya Shachree M. Daroini?
  3. Apa saja nilai edukatif dari novel ”Love in Pesantren” yang bisa diterapkan sebagai reformulasi pola interaksi guru dan murid di pesantren?


  4. ===================================  
    Anda dapat memiliki word/file aslinya
    Silahkan download file aslinya setelah menghubungi admin….. klik disini
     Hanya mengganti biaya administrasi pengelolaan webite sebesar,  50.000,- MURAH Meriah
                                                         Anda tidak repot lagi mencari referensi.
                                                         Di jamin asli.contohmakalah

    * sekali lagi ditekan kan bahwa file yang ada di web ini adalah milik orang, untuk itu jika anda ingin mengutip atau mengambil beberapa kalimat dalam file tersebut harus sesuai dengan tata cara penulisan yang baku dan di cantumkan nama penulis aslinya






[1] Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997),  hlm. 4-5.

[2] Wasty Soemanto dan Hendyat Soetopo, Dasar dan Teori Pendidikan Dunia, (Surabaya: Usaha Nasional, 1987), hlm. 12-15.
[3] Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS).

[4] Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam. 1993, hlm.1-2.
[5] Nurcholish Madjid, Modernisasi Pesantren; Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Ciputat: Ciputat Press, 2002), hlm. 63.
[6] Departemen Agama RI, op. cit, hlm. 79.
[7] Nurcholish Madjid, loc. cit.
[8]  Aly As’ad, Terjemah Ta’limul Muta’allim, (Kudus: Menara Kudus, 1978), hlm. 16.

1 comment:

1

2










                 KLIK

translet


Tags

tempat sharing

Blog Archive

Blog Archive