SILAHKAN GUNAKAN FASILITAS "SEARCH" pojok kanan atas
untuk mencari judul skripsi yang di inginkan

pemesanan => Hub: 0857-351-08864

Wednesday, May 2, 2012

konsep pendidikan humanis dalam perspektif islam dan implementasinya dalam proses belajar mengajar | Contoh Skripsi


Penulis : -
Kode     :170
Judul    : Konsep Pendidikan Humanis Dalam Perspektif Islam Dan Implementasinya Dalam Proses Belajar Mengajar
 -------------------------------------------------
BAB I
PENDAHULUAN

A Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dan strategis untuk menjamin kelangsungan dan perkembangan kehidupan bangsa. Dalam hal ini, pendidikan harus dapat menyiapkan warga negara untuk menghadapi masa depannya. Dengan demikian tidak salah apabila orang berpendapat bahwa celah tidaknya masa depan suatu negara sangat ditentukan oleh pendidikannya saat ini.Contoh Skripsi
Komentar yang menyoroti mutu pendidikan sudah sejak lama dilontarkan oleh pengamat pendidikan. Meskipun mengacu pada indikator yang berbeda, mereka sependapat bahwa mutu pendidikan kita masih rendah. Perbincangan mengenai rendahnya mutu pendidikan memang belum dan tidak akan kunjung selesai, karena banyaknya variabel yang mempengaruhi mutu pendidikan. Mencari masalah tersebut agaknya seperti mengurai benang kusut yang sulit dicari ujung dan pangkalnya.Contoh Skripsi

1
 
Pendidikan bukanlah merupakan suatu kegiatan rutin an sich atau pun hanya terpaku pada tujuan yang telah ditentukan semula, akan tetapi pendidikan harus melepaskan manusia dari kungkungan alamiah maupun kungkungan biologis. Habitus anak manusia merupakan habitus yang terbuka yang berkembang sesuai dengan perkembangan akal-budinya dan kemerdekaannya. Sebagai makhluk yang bebas, tujuan pendidikan ditentukan dan dipilih oleh manusia yang bebas namun terikat kepada ikatan-ikatan kehidupan yang dipilihnya sendiri dari kehidupan manusiawi.Contoh Skripsi
Pendidikan harus mampu menciptakan manusia-manusia yang siap dan eksis untuk hidup di tengah-tengah perubahan yang ada. Sehingga manusia tidak ikut lebur dalam arus yang menerpanya, malainkan mampu mengendalikan arus perubahan, kemana kehidupan sebuah masyarakat akan dikendalikan.
Bagaimana pun, pendidikan merupakan salah satu kunci yang sangat esensial dalam kehidupan manusia. Baik buruknya sumber daya manusia tergantung dari pendidikan yang diperolehnya. Jika pendidikan yang diperoleh seseorang memiliki kualitas yang mumpuni, maka baik juga sumber daya manusia yang dimilikinya. Karena itu, desain pendidikan selayaknya dipersiapkan secara matang sehingga hasil yang dicapai pun memuaskan.[1] Karena proses pendidikan merupakan suatu proses yang yang bertujuan. Meskipun tujuannya bukan merupakan tujuan yang tertutup (eksklusif) tetapi tujuan yang secara terus-menerus harus terarah kepada pemerdekaan manusia.[2]
Ada pandangan yang agak klasik dan menjadi pandangan wacana publik dikalangan ahli pendidikan, yaitu pandangan mengenai pendidikan sebagai proses humanisasi atau biasa disebut dengan proses pemanusiaan manusia. Pemahaman terhadap konsep ini memerlukan renungan yang sangat mendalam, sebab apa yang dimaksud dengan proses pemanusiaan manusia tidak sekedar yang bersifat fisik, akan tetapi menyangkut seluruh dimensi dan potensi yang ada pada diri dan realitas yang mengitarinya. Sebagaimana yang dikatakan H.A.R. Tilaar, bahwa hakikat pendidikan adalah proses memanusiakan anak manusia, yaitu menyadari akan manusia yang merdeka. Manusia yang merdeka adalah manusia yang kreatif yang terwujud di dalam budayanya.[3]

=================================== 
DAPATKAN FILE nya Dengan menghubungi admin
Anda dapat memiliki word/file aslinya
Silahkan download file aslinya setelah menghubungi admin….. klik disini
 Hanya mengganti biaya administrasi pengelolaan webite sebesar,  50.000,- MURAH Meriah
                                                     Anda tidak repot lagi mencari referensi.
                                                     Di jamin asli.contohmakalah

Hal ini sejalan dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, yang berbunyi :
            “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”[4]
Namun hingga saat ini menurut Sulaeman, pendidikan belum mampu mencapai titik idealnya yakni memanusiakan manusia, yang terjadi  justeru sebaliknya yakni menambah rendahnya derajat dan martabat manusia. Eksistensi yang sebenarnya menjadi hak milik secara mutlak untuk survive dan mengendalikan hidup, ternyata hilang dan kabur bersama arus yang menerpanya. Makna pendidikan yang belum terealisasikan ini menurutnya terkait dengan situasi  sosio-historis dan kondisi lingkungan yang melingkupinya. Seperti halnya penjajahan yang dilakukan Barat (kaum kolonialisme) terhadap bangsa Indonesia selama berabad-abad ternyata membawa dampak yang sangat serius terhadap pola pikir dunia pendidikan, sehingga amat berpengaruh juga terhadap proses pendidikan yang berlangsung. Salah satu dampak yang paling buruk dari kolonialisme yang telah melanda negara jajahan-bukan Indonesia saja melainkan semua negara jajahan khususnya negara-negara Islam adalah dengan munculnya sebuah masyarakat kelas “elit” yang lebih tepat  disebut sebagai “anak-anak yang tertipu”. Produk dari sistem pendidikan (Barat) yang “mengagumkan” ini didesain untuk membentuk sebuah kelas yang tercerabut dari tradisi budaya dan moralnya.[5]
Sehinga para elit yang terbaratkan, yang tercerabut dari akar budayanya  melihat Barat dengan rasa kagum yang teramat besar seakan-akan Barat adalah segala-galanya. Akibatnya, mereka membuang jauh-jauh budaya yang humanis untuk diganti dengan budaya materialis dan hedonis, yang makna kebertahanannya tidak lagi terealisasikan dalam tindak dan perilaku sehari-harinya.[6]
Rangkaian uraian di atas menggambarkan bahwa pendidikan yang berlangsung sampai saat ini dapat dinilai belum mampu menyadarkan manusia akan dirinya. Sehingga pendidikan tidak dapat memberikan kontribusi kepada manusia untuk meningkatkan derajatnya yaitu tetap eksis dan berada di depan dalam membawa segala perubahan. Padahal pendidikan seharusnya telah menampakkan hasil yang memuaskan, tatkala manusia sudah semakin yakin bahwa pendidikan adalah institusi yang mampu membentuk karakter-karakter manusia yang ditandai dengan semakin tumbuh dan berkembangnya potensi dasar manusia tersebut. Sehingga manusia dapat mengenal dirinya sendiri, alam, dan Tuhannya. Hal ini dikarenakan potensi yang dimiliki manusia bukan hanya sekedar potensi dalam hal minat-bakat dan berpikir, tetapi yang lebih luas lagi yaitu potensi bermasyarakat dan beragama (ber-Tuhan).
Kondisi pendidikan yang belum mampu menjadi fasilitator menuju pengembangan potensi tersebut, diperparah lagi oleh sosial-politik yang mengitarinya. Pendidikan kita justru digunakan sebagai alat indoktrinasi berbagai kepentingan, baik kepentingan politik yang akhirnya menuju pada pelanggengan kekuasaan (status quo), ilmu pengetahuan dan teknologi yang melampaui batas sehingga menggeser dan tidak menghargai eksistensi manusia maupun kepentingan agama dengan sentimen-sentimennya untuk mengklaim dirinya sebagai satu-satunya agama yang benar dan menganggap agama lain salah tanpa disertai sikap inklusif dan pluralis, yang pada gilirannya menjadikan agama rawan konflik.
Hal tersebut diperparah lagi dengan budaya nasional yang kurang selaras apabila diaplikasikan dalam dunia pendidikan, serta sangat menghambat untuk perkembangan pendidikan di Indonesia. Ada empat aspek budaya nasional yang tidak selaras tersebut dan perlu direformasi.[7] Pertama, prinsip kepatuhan total (principle of total obedience). Prinsip ini masih tinggi dipegang oleh para pendidik. Dalam prinsip ini, seorang murid harus patuh secara total terhadap perintah, tugas dan pernyataan guru yang bersangkutan, tanpa boleh membantah, berdebat atau mengelak. Akibatnya, sistem pendidikan seperti berlaku dalam garis komando militer. Ketika murid berbuat salah, ia akan menerima hukuman dan ganjaran tanpa bisa menolak.
Kedua, budaya tidak melontarkan pertanyaan atau berpikir menentang (unquestioning mind). Seorang murid dituntut tidak boleh tampak lebih pintar dari gurunya dalam penguasaan suatu materi pelajaran. Sehingga, ketika seorang murid mengetahui penjelasan yang disampaikan gurunya salah teori atau salah kutip, ia harus diam. Jika berani sok pintar lebih dari guru, maka sang guru akan merasa tersinggung dan menekan murid tersebut dengan pemberian niali tes yang tidak adil.
Ketiga, yang lebih tua mengetahui semuanya (elders know all). Bahwa orang yang lebih tua mengetahui banyak hal dan banyak ilmu. Kebanyakan orang Indonesia sungkan untuk membantah, berdebat dan berbeda pendapat dengan para guru, bos atau yang lebih tua, karena perasaan sungkan yang berlebihan. Kultur yang terkonstruk di masyarakat telah menjadikan manusia-manusia penakut dengan alasan etika dan kesopanan.
Keempat, guru tidak mungkin berbuat salah (teachers can do wrong). Prinsip ini diamini dengan adanya filosofi guru yaitu yang digugu dan ditiru. Ini karena guru dinilai merupakan figure teladan masyarakat. Sebagai figur ia tidak mungkin melakukan kesalahan atau kecerobohan.
Keempat aspek tersebut memang agak sulit dilepaskan dari insan pendidik dan juga dari masyarakat pada umumnya. Padahal jika kita memahami hakekat pendidikan, seperti yang dikemukakan H.A.R. Tilaar di atas, sebenarnya ada dua pemahaman tentang definisi pendidikan. Pertama, adalah proses pewarisan, penerusan atau enkulturasi dan sosialisasi perilaku sosial yang telah menjadi model anutan masyarakat lingkungannya secara baku. Kedua, adalah sebagai upaya fasilitatif yang memungkinkan terciptanya situasi atau potensi-potensi dasar yang dimiliki oleh anak yang dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka pada suatu zaman dan dimana mereka harus survival
Adapun dua pemahaman di atas mempunyai implikasi yang sangat luas terhadap praktek-praktek pendidikan, termasuk pendidikan agama. Sebab pewarisan seringkali diterjemahkan sebagai usaha mencetak anak didik dengan sebuah utopia tertentu yang bersifat statis. Sedangkan anggapan kedua lebih memungkinkan bagi anak didik untuk menemukan profil dirinya sendiri yang lebih aktual dalam kontek lingkungan dan kurun waktu tempat mereka sedang mengambil peran dalam panggung sejarahnya sendiri
Dalam pengamatan penulis, kedua pemahaman dan sekaligus orientasi pendidikan di atas tidak menjadi persoalan. Artinya, baik pemahaman pertama maupun kedua meskipun tidak dijalankan secara bersama-sama akan tetap membuahkan hasil yang memuaskan. Karena memang pendidikan juga harus diarahkan  pada pewarisan tradisi, terutama tradisi yang baik sekaligus diiringi sikap kritis. Tetapi jika keduanya selalu dipertentangkan, dan tidak dijalankan secara bersama-sama maka mengakibatkan kepincangan dalam dunia pendidikan, khususnya dalam hal tujuan yang akan dicapai. Pada satu sisi, hanya bersifat penerusan suatu tradisi tanpa disertai wawasan untuk memecahkan persoalan hidup dan mencapai hidup, sedangkan sisi kedua, hanya mengandalkan skill untuk menciptakan sesuatu, sehingga anak tidak dapat mengatasi persoalan yang ada di depannya dan berkompetisi dalam kehidupannya, yang akhirnya menjadi “robot-robot” bernyawa.
Karena itu sudah saatnya dua pemahaman tentang pendidikan tersebut untuk dilebur menjadi satu dan dilaksanakan secara bersama-sama (integral). Sehingga antara pengetahuan tentang nilai-nilai yang ada dengan kemampuan untuk membuat sesuatu yang berguna dalam kehidupannya dan jiwa berpikir ke depan dapat terinternalisasi dalam diri seseorang.
Perlu dipahami, bahwa pendidikan pada dasarnya adalah kerja budaya, yang tidak hanya indentik dengan penyelenggaraan proses belajar mengajar di sekolah. Namun pendidikan mencakup semua lingkup belajar yang lebih luas, yaitu bagaimana seorang anak melakukan reproduksi kebudayaannya dalam proses zaman yang berubah. Dengan demikian, anak adalah aktor dan subyek yang melakukan akulturasi dan enkulturasi kebudayaannya dalam bersosialisasi dengan masyarakatnya. Sebagai subyek kebudayaannya, seorang anak tidak hanya berusaha mempelajari dan mengamalkan nilai-nilai, norma-norma dan kebiasan masyarakat, tapi juga dalam proses itu adakalanya mempertanyakan, meragukan bahkan kalau perlu memberontak terhadap sesuatu yang mapan
Dalam kerangka inilah, Kartono mengajukan sebuah sistem demokrasi sebagai pilihan, baik pilihan sistem pendidikan maupun sistem politik. Sehingga memunculkan kesadaran diri untuk berbangsa dan bernegara dan mampu membawa cita-cita modernisasi bangsa.[8]
Namun pendidikan yang berlangsung selama ini di Indonesia cenderung didasarkan pada pola keseragaman (uniformitas), yang tidak menghargai keunikan anak manusia (pluralitas). Keunikan seorang atau sekelompok manusia dipandang sebagai suatu keanehan dan bahkan keburukan yang harus dihindari. Anggapan semacam inilah yang sebenarnya harus dihindarkan dalam dunia pendidikan.
Di lain sisi, dalam pandangan Mulkhan, sentralisasi pendidikan yang tejadi selama ini, menciptakan kesadaran atas nilai modernitas tentang keseragaman dan tidak berharganya keunikan manusia dan anak didik. Hal ini menyebabkan manusia kehilangan jati diri dan kepekaan sosialnya. Profesionalisme dan mutu keunggulan kemanusiaan lebih terkonsentrasi kekuasaan di Jakarta. Dunia pendidikan menjadi tergantung pada pusat kekuasaan yang menempatkan dan menjadikannya sebagai alat politik dan kebudayaan, bukan praktek politik dan kebudayaan itu sendiri.
Selain itu, fenomena konflik, kekerasan, keberingasan dan kesadisan dalam semua kehidupan dewasa ini telah menunjukkan fenomena kemanusiaan yang lebih serius dalam peradaban modern. Menurut Mulkhan, manusia bukan hanya menghadapi keterasingan dan dehumanisasi modernitas tetapi hilangnya semangat kemanusiaan. Manusia kehilangan dunia kemanusiaannya. Hal ini bukan hanya diakibatkan karena rendahnya interaksi sesama, tetapi akibat kompleksitas interaksi yang artifisial (budaya meniru). Interaksi hubungan sosial menjadi suatu yang “terpaksa” dilakukan sebagai kebiasan yang rutin tanpa kesadaran rasa kemanusiaan yang mendalam.
Sebuah prinsip yang harus dipegang dalam pendidikan khususnya pendidikan Islam yakni pengembangan belajar sebagai muslim baik bagi terdidik maupun pendidik. Setiap rangkaian belajar mengajar harusnya ditempatkan sebagai pengkayaan pengalaman kebertuhanan. Pendidikan bukanlah sosialisasi atau internalisasi pengetahuan dan keberagaman pendidik, tetapi bagaimana peserta didik mengalami sendiri keber-Tuhanan-nya. Ketaqwaan dan keshalehan bukanlah sikap dan perilaku yang datang secara mendadak, tetapi melalui sebuah tahap penyadaran yang harus dilakukan sepanjang hayat. Karena itu, pendidikan tidak lain sebagai proses penyadaran diri dan realitas universum.[9]
Karena pendidikan (Islam) berupaya membawa manusia pada penyadaran kehidupan bermasyarakat dan bertuhan. Manusia seharusnya disibukkan pada kehidupan yang kongkrit (dunia) tanpa melupakan yang abstrak (akhirat), suatu kehidupan yang seimbang menuju sa’adah al darain (kebahagiaan dunia akhirat) tersebut (QS. al-Qashash/28: 77). Manusia harus memikirkan siapa dirinya, lingkungannya dan Tuhannya beserta relasi-relasi yang ditimbulkan atas kebertuhananya itu. Bukan hanya mengurusi dirinya sendiri dengan melupakan sesamanya atau hanya memikirkan dan mengurusi dirinya dan manusia lain dengan melupakan Tuhan atau juga hanya mengurus Tuhan sehingga melupakan kewajiban dunianya. Manusia harus sadar bahwa dalam dirinya terdapat potensi yang besar untuk melakukan tindakan yang kejam dan tidak manusiawi. Apabila hal ini tidak diikuti dengan kesadaran bertuhan maka tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi di dunia ini, akankah dunia tetap bertahan dengan prilaku menusia yang senantiasa menggerogotinya?
Analisa yang diberikan Mulkhan tentang kelalaian dalam proses pendidikan (Islam) barang kali bisa memberikan titik terang, menurutnya hal tersebut disebabkan oleh pijakan-pijakan yang digunakannya. Pendidikan seharusnya melihat dan mengambil pengalaman dari proses kehidupan-kehidupan yang berlangsung. Selama ini, masyarakat dihinggapi sebuah asumsi bahwa kehidupan masyarakat tradisional dianggap tidak mampu memecahkan problematika kehidupan. Karenanya, masyarakat kemudian menggantinya dengan modernitas, yang justru pada saat ini kita merasakan kebobrokannya karena modernitas telah menempatkan manusia jauh dari dirinya, sebagai akibat pola berpikir yang sangat materialistis dan logika materialisme yang menjadi ciri modernitas tersebut.
Mulkhan sangat menyayangkan, bahwa basis tradisional yang sarat dengan nilai-nilai demokratisasi kini diganti dengan nilai-nilai modernitas tanpa pijakan yang manusiawi, yang pada akhirnya menjauhkan manusia dari dirinya dan lingkungan serta Tuhannya. Sebenarnya, kesadaran tradisional lebih mendorong tumbuhnya keunikan kebudayaan yang lebih manusiawi. Pendidikan sebagai praktek modernisasi menjadi praktek dehumanisasi dan penindasan kemanusiaan. Modernitas telah membelah kesatuan dan memutus mata-rantai kontinum realitas materil hingga spiritual-metafisik.[10]
Dalam menghadapi situasi demikianlah, kemudian Mulkhan banyak memberikan sorotan dan kritik terhadap proses pendidikan yang berlangsung dewasa ini. Mulkhan menginginkan proses belajar mengajar yang diarahkan pada tumbuhnya kreatifitas dan kemandirian anak didik dalam menghadapi segala perubahan dengan upaya menempatkan pendidikan sebagai sebuah proses pemanusiaan manusia. Karena itu menurutnya, pendidikan harus didasarkan kepada keunikan personalitas anak manusia.
Pandangan terhadap fenomena pendidikan di atas memberikan inspirasi pada penulis untuk lebih jauh mengungkap pikiran-pikiran para praktisi pendidikan yang dituangkannya dalam beberapa buku dan artikel yang banyak menyorot berbagai persoalan kontemporer yang dilandaskan pada kerangka kemanusiaan atau pemuliaan manusia yang didasarkan kepada potensi yang dimilikinya. serta bagaimana cara menyikapi sebuah bentuk pluralitas sebagai sebuah keniscayaan yang ada dalam masyarakat, diakui ataupun tidak. Karenanya, penulis ingin meneliti lebih jauh tentang konsep pendidikan yang humanis. Sehingga memberi judul penulisan ini dengan judul: konsep pendidikan humanis dalam perspektif islam dan implementasinya dalam proses belajar mengajar
B. Rumusan Masalah
            Dari uraian di atas, maka focus masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut :
1.      Bagaimana konsep pendidikan humanis?
2.      Bagaimana perspektif Islam tentang konsep pendidikan humanis?
3.      Bagaiamana implementasinya dalam proses belajar mengajar?

=================================== 
DAPATKAN FILE nya Dengan menghubungi admin
Anda dapat memiliki word/file aslinya
Silahkan download file aslinya setelah menghubungi admin….. klik disini
 Hanya mengganti biaya administrasi pengelolaan webite sebesar,  50.000,- MURAH Meriah
                                                     Anda tidak repot lagi mencari referensi.
                                                     Di jamin asli.contohmakalah

 
 
 
 
 
 
 
 
 

[1] A. Syafi’I Ma’arif et. al., 1991. Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, h. 15.
[2] H.A.R. Tilaar, 2005. Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, h. 119.
[3] Ibid, h. 112.
[4] Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasiononal,diperbanyak oleh Penerbit Citra Umbara Bandung, h. 76.
[5] Sulaeman Ibrahim, 2000. Pendidikan Sebagai Imperialisme dalam Merombak Pola Pikir Intelektualisme Muslim, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 81.
[6] Ibid, h. 83-89.
[7] Prambudiyono, Reformasi: Empat Aspek Budaya Nasional dalam Dunia Pendidikan, MPA 145/Oktober 1998, h. 28.
[8] Kartini Kartono, 1992. Pengantar Ilmu Pendidikan: Apakah Pendidikan Masih Diperlukan, Bandung: Mandar Maju, h. 93.
[9] Abdul Munir Mulkhan, 1998. Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren: Religiusitas IPTEK, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 111-112.
[10] Abdul Munir Mulkhan, 2002. Nalar Spiritual Pendiudikan, Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, h. 180-188.


No comments:

Post a Comment

1

2










                 KLIK

translet


Tags

tempat sharing

Blog Archive

Blog Archive