SILAHKAN GUNAKAN FASILITAS "SEARCH" pojok kanan atas
untuk mencari judul skripsi yang di inginkan

pemesanan => Hub: 0857-351-08864

Monday, October 31, 2011

haram dan najis (perspektif ushul fiqih)


HARAM dan NAJIS
(perspektif ushul fiqih)

Artikel ini menjelaskan tentang haram dan najis dan cara mengetahuinya…. Menarik soo di baca ya…..

               Ada yang perlu dipahami lebih lanjut bahwa dalam hukum itu terdapat perbedaan antara hikmah dan illat. Dua bagian ini seringkali dipahami secara rancu sehingga seringkali tertukar balik atau salah paham. Hal itu bias terjadi karena dua-duanya berawal dari pertanyaan yang sama, mengapa kenapa?  Saat kita mencoba menjawab ini muncul pertanyaan berikutnya apakah itu hikmah atau illat?  Hikmah yang terkandung dalam suatu hukum bersifat tidak mengikat, berbeda dengan illat karena suatu hukum yang mengandung illat akan berkisar Seputar  itu, ada atau tiada.
               Dalam kaidah fiqih biasa disebut, al-hukmu yaduuru ma'al illat wujudan wa 'adaman. Salah satu contoh hikmah adalah disyariatkannya mandi bagi orang yang  berhadas besar, karena seseorang setelah bersetubuh atau keluar sperma  mengakibatkan lemah dan loyonya kondisi tubuh dan dengan mandi bisa segar  kembali. Ini hikmah, dan kalau orang mandi tetapi tidak segar juga tidak akan mempengaruhi ketetapan hukum yang ada. Sedangkan contoh illat adalah Khamar. Illatnya adalah memabukkan.
               Maka setiap sesuatu yang bisa mencapai keadaan memabukkan, dihubungkan hukumnya dengan hukum khamar, tapi tidak disebut sebagai khamar secara langsung. Selama illat itu ada maka selama itu pula hukum itu berlaku. Karena itu,ada yang perlu dipahami juga di sini, hukum dasar (al-Ashl) dan hukum cabang (al-Far'u).
               Dalam pembahasan ethanol dan sesuatu yang mengandung ethanol dulu saya lihat terjadi pencampuradukan antara hukum ashal dan hukumcabang. Hukum dasar ini didapatkan dari penetapan nash. Maka Khamar dengan definisinya yang sudah diketahui adalah haram sebagaimana ditegaskan oleh nash. Hukum dasar ini, jika illatnya tidak terdapat hukumnya tetap haram. Karena itu, khamar itu hukumnya haram, apakah sedikit (tidak memabukkan) atau banyak (memabukkan). Sedangkan hukum cabang hanya terhubung dengan hukum dasar apabila illatnya ada.

               Dengan demikian, kalau setiap buah-buahan atau makanan buatan yang berdasarkan penelitian mengandung seperti kandungan khamar dalam persentasi yang berbeda-beda tidak dihukumkan haram selama illat yang mengharamkan itu tidak ada (memabukkan). Kemudian illat ini tidak sekedar diukur memabukkan secara sederhana begitu saja, namun diukur dengan standar yang dalam ushul fiqh disebut Mazhan al-Hukum. Artinya dilihat potensi suatu kandungan sampai dimana sehingga mencapai illat mengharamkan secara standar.
               Kalau secara umum orang makan durian dua karung, tidak terjadi apa-apa, tetapi ternyata pada si A membuat dia mabuk misalnya, maka ini tidak bisa diukur sebagai illat bahwa standar durian dua karung itu memabukkan maka haram. Illat dalam suatu hukum kadang-kadang disebutkan dalam nash seperti Khamar ini misalnya disebutkan dalam al-Qur`an, juga dijelaskan dalam hadits. Kadang-kadang ada hukum yang nash tidak menyebutkan illat, namun hukum itu sendiri mengandung atau setelah diteliti oleh para fuqaha mengandung illat. Seperti misalnya Shalat Qashar, tidak disebutkan secara tegas kenapa dibolehkan bagi musafir. Namun konotasi nash mengandung alasan kemudahandan dibolehkan Qashar karena masyaqqah (tingkat kesulitan) melaksanakan shalat saat bepergian.
                Para ulama kemudian mengukur kira-kira dalam jarak sejauh apa kesulitan itu menjadi standar lalu boleh menqashar shalat. Muncullah perbedaan pendapat lagi tentang ukuran jarak. Pada masa modern, perbedaan pendapat ini menjadi semakin rumit. Misalnya bepergiaan dari Banjarmasin ke Jakarta naik pesawat. Ini tidak sesulit dulu lagi, tetapi secara jarak kalau menurut ulama dahulu boleh qashar,sekarang apakah masih boleh? Bagi yang mengikuti pendapat ulama dahulu karena memang jaraknya sudah mencapai boleh qashar, silahkan. Bagi yang mengikuti pendapat  yang lebih melihat illat (artinya standar ulama dahulu dalam menetapkan illat dengan perkiraan jarak yang mencapai tingkat kesulitan standar diperbaharui lagi pada masa sekarang), juga silahkan.
               Masalah kedua, tingkat kesulitan itu juga terjadi dalam jarak yang terhitung  dekat (tidak mencapai standar ulama dahulu dalam menetapkan  kebolehan  qashar) seperti misalnya macet di Jakarta. Apakah pada kasus ini juga boleh  qashar? Bagi yang mengikuti standar ulama dahulu (tidak boleh qashar), silahkan. Bagi yang mengikuti illat (artinya, sudah tercapai standar kesulitan meski tidak mencapai jarak yang membolehkan qashar), juga silahkan. Karena mazhan hukumnya sudah bisa dilihat dan dirasakan sendiri secara standar. Itulah perbedaan antara illat dan hikmah.
               Kemudian ada hukum-hukum yang memang ditetapkan secara mutlak dan tidak ada illatnya. Saya kira, ini termasuk keharaman makan babi, darah, daging yang disembelih tanpa menyebut  nama Allah, kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji, dan hukum-hukum  lainnya. Yang muncul di sini pada akhirnya adalah hikmah, bukan illat.  Kenapa babi diharamkan, kenapa darah diharamkan, kenapa daging yang disembelih tanpa menyebut nama Allah diharamkan? Jawabannya, ya begitu nash  menyebutkan, hukumnya haram. Kenapa shalat lima waktu itu wajib, kenapa puasa, zakat, haji bagi yang mampu itu wajib? ya wajib aja, begitu yang ditegaskan oleh nash. Jawabanya dari kenapa ini selanjutnya hanya berupa  hikmah. Oh hikmahnya orang  puasa itu begini, hikmah berzakat itu begitu, dst. Wallahu A'lam.

Maslah ini amat menarik untuk itu admin ingin mengoleksi file ini..
Sumber: http://www.mail-archive.com


No comments:

Post a Comment

1

2










                 KLIK

translet