Haram dengan illat dihormati, misalnya memakan daging manusia ataupun minum air mani, meskipun keduanya suci. keharaman ini lebih pada penghormatan dua hal tersebut.
Haram dengan illat najis, misalnya makan daging babi. Keharaman daging bagi pada dasarnya dikarenakan kondisi babi itu sendiri yang merupakan perkara najis seperti yang diterangkan dalam al-Qur’an. Adapaun setelah ada penelitian ternyata daging babi mengandung mudharat/penyakit, itu merupakan hikmah dibalik pengharaman, bukan illat itu sendiri.
Dengan demikian sebenarnya haram dan najis adalah dua hal yang berbeda. Haram berhubungan dengan hukum syar’i, sedangkan najis berhubungan dengan sifat benda itu sendiri. Karena berhubungan dengan hukum syar’i maka ketentuannya tidak dapat berubah, sebagaimana ditetapka oleh Syaari’ Allah subahnahu wa ta’ala dalam al-Qur’an maupun Nabi Muhamad saw melalui haditsnya. Sedangkan Najis, yang berhubungan dengan sifat benda, maka bisa saja diubah sifat benda tersebut sesuai dengan kaedah fiqhiyah. Misalnya, baju yang terkena ompol bayi itu najis, tapi dapat dihilangkan najisnya jika dicuci. Tidak demikian dengan Haram, sekali syariat telah menghukuminya sebagai barang haram, maka keharman itu melekat selamanya dan tidak bisa dihapus. Dimasak dengan cara apapun babi tetap haram.
Untuk lebih jelasnya harus ada batasan antara haram dan najis. Penjelasan inilah yang dalam kaedah fiqih disebut tashawwur yaitu penggambaran sesuatu melalui ta’rif atau definisi.
Adapun batasan haram menurut kitab lathaiful isyarat fil ushulil fiqhiyat halaman 12 adalah:
Sedangkan batasan najis menurut kitab nihayatul muhtaj ila syarhi minhaj karya Syekh Ar-Ramly juz I halaman 215
koleksi admin...
rujukan:http://www.salamsalam.org
No comments:
Post a Comment