SILAHKAN GUNAKAN FASILITAS "SEARCH" pojok kanan atas
untuk mencari judul skripsi yang di inginkan

pemesanan => Hub: 0857-351-08864

Thursday, June 9, 2011

Guru menurut al-ghazali dan zakiah daradjat (studi komparatif)



 

 
Kode     : 023
Judul     : SOSOK GURU  MENURUT AL-GHAZALI DAN ZAKIAH DARADJAT (STUDI KOMPARATIF)
==================================
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Semakin maju suatu masyarakat, semakin dirasakan pentingnya  pendidikan secara teratur bagi pertumbuhan anak serta generasi muda pada umumnya. Pada masyarakat terbelakang, seperti mereka yang hidup di hutan, di pulau terpencil atau di tempat yang belum mengenal kemajuan sama sekali, memang pendidikan tidak diperlukan oleh orang tua, karena mereka secara naluriah akan melatih anak-anaknya dari kecil mengikuti jalan hidupnya sesuai dengan keyakinan dan keterampilan yang dimilikinya sepanjang turun temurun. Seperti bekerja di sawah, di ladang, menangkap ikan, berperilaku sesuai dengan adat-istiadat dan budaya, dan sopan-santun yang dipelajari anak secara alamiah, dengan menaruh, mencoba dan melatih diri tanpa tuntunan yang pasti.
Kehidupan dan pertumbuhan anak pada masyarakat terbelakang seperti itu tidak dapat dipertahankan lagi, karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang sebegitu jauh, sehingga kepandaian dan keterampilan tidak mungkin lagi berpindah dari generasi tua kepada generasi muda melalui pengalaman hidup dari orang tua saja, tetapi harus dengan pendidikan oleh orang yang mempunyai kemampuan dan keterampilan untuk itu, yaitu Guru.[1]
1
 
Guru adalah orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran, yang ikut bertanggung jawab dalam mendidik dan mengajar,  membantu anak untuk mencapai kedewasaan.[2] Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak terbatas di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di masjid, mushala, di rumah dan sebagainya.
Guru memang menempati kedudukan yang terhormat di masyarakat. Peranan dan kewibawaan yang menyebabkan seorang guru dihormati, sehingga masyarakat tidak  meragukan figur seorang guru. Masyarakat yakin bahwa gurulah yang mendidik mereka agar menjadi orang yang berkepribadian mulia.
Guru adalah komponen yang penting dalam pendidikan, yakni orang yang bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan anak didik, dan bertanggung jawab atas segala sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam rangka membina anak didik agar menjadi orang yang bersusila yang cakap, berguna bagi nusa dan bangsa di masa yang akan datang.
Dalam masa sekarang ini, setiap sekolah memerlukan beberapa orang guru, sehingga masing-masing anak didik akan mendapat pendidikan dan pembinaan dari berbagai orang guru yang mempunyai kepribadian dan mental yang beragam. Setiap guru akan mempunyai pengaruh terhadap anak didik, pengaruh tersebut akan terjadi melalui pendidikan dan pengajaran yang dilakukan baik dengan sengaja, maupun tidak sengaja oleh guru, melalui sikap, gaya, dan macam-macam penampilan kepribadian guru. Dapat dikatakan, bahwa kepribadian guru akan lebih besar pengaruhnya dari pada kepandaian dan ilmunya, terutama bagi anak didik yang masih dalam usia kanak-kanak dan masa meningkat remaja, yaitu tingkat pendidikan dasar dan menengah, karena anak didik pada tingkat tersebut masih dalam masa pertumbuhan dan perkembangan kepribadiannya. Oleh karena itu, setiap guru hendaknya mempunyai kepribadian yang patut dicontoh dan diteladani oleh anak didik, baik secara sengaja ataupun tidak.
Pandangan tentang citra guru sebagai orang yang wajib digugu (dipatuhi) dan ditiru (diteladani) tidak perlu diragukan kebenarannya, konsep keguruan  klasik tersebut mengandaikan pribadi guru serta perbuatan kependidikan atau keguruan adalah tanpa cela, sehinga pantas  hadir sebagai manusia model yang ideal. Hal ini tidak sesuai dengan kenyataan. Jadi, guru wajib digugu dan ditiru tersebut perlu disikapi secara kritis dan realistis. Benarlah bahwa guru dituntut menjadi tauladan bagi siswa dan orang-orang sekelilingnya, tetapi guru adalah orang yang tidak pernah bebas dari cela dan kelemahan, justru salah satu  keutamaan guru hendaknya diukur dari kegigihan usaha guru yang bersangkutan untuk menyempurnakan diri dan karyanya. Guru yang sempurna, ideal, selamanya tetap merupakan suatu cita-cita.
Atas pemikiran di atas, maka upaya menyiapkan tenaga guru merupakan langkah utama dan pertama yang harus dilakukan. Dalam arti formal tugas keguruan bersikap profesional, yaitu tugas yang tidak dapat diserahkan kepada sembarang orang.[3] Dalam artian, guru tersebut harus mempunyai kemampuan untuk mengerahkan dan membina anak didiknya sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang luhur dan bermanfaat menurut pandangan agama.

Pendidik yang pertama dan utama adalah orang tua (ayah dan ibu), karena adanya pertalian darah yang secara langsung bertanggung jawab penuh atas kemajuan perkembangan anak kandungnya, karena sukses anaknya merupakan sukses orang tua juga. Orang tua disebut pendidik kodrati. Apabila orang tua tidak punya kemampuan dan waktu untuk mendidik, maka mereka menyerahkan sebagian tanggungjawabnya kepada orang lain atau lembaga pendidikan yang berkompetensi untuk melaksanakan tugas mendidik.
Seorang guru dituntut mampu memainkan peranan dan funginya dalam menjalankan tugas keguruannya. Dalam Ilmu Pendidikan Islam, membagi tugas guru ada dua; Pertama, membimbing anak didik mencari pengenalan terhadap kebutuhan, kesanggupan, bakat, minat dan sebagainya. Kedua, menciptakan situasi untuk pendidikan, yaitu suatu keadaan dimana tindakan pendidikan dapat berlangsung dengan baik dan hasil memuaskan.
Untuk menjadi guru yang profesional tidaklah mudah, karena ia harus memiliki berbagai kompetensi keguruan. Kompetensi dasar bagi pendidik ditentukan oleh tingkat kepekaannya dari bobot potensi dasar dan kecenderungan yang dimilikinya. Pontensi dasar itu adalah milik individu sebagai hasil proses yang tumbuh karena adanya inayah Allah SWT, personifikasi ibu waktu mengandung dan situasi yang mempengaruhinya baik langsung maupun melalui ibu waktu mengandung atau faktor keturunan. Hal inilah yang digunakan sebagai pijakan bagi individu dalam menjalankan fungsinya sebagai hamba dan khalifah Allah.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa dalam ajaran Islam, guru mendapatkan penghormatan dan kedudukan yang amat tinggi. Penghormatan dan kedudukan yang  tinggi ini amat logis diberikan kepadanya, karena dilihat dari jasanya yang demikian besar dalam membimbing, mengarahkan, memberikan pengetahuan, membentuk akhlak dan menyiapkan anak didik agar siap menghadapi hari depan dengan penuh keyakinan dan percaya diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi kekhalifahannya di muka bumi dengan baik.  
Sifat yang dimiliki guru adalah harus memiliki sifat zuhud, yaitu tidak sesuai dengan pendapat Mohammad Athiyah Al-Abrosyi, salah satu dari mengutamakan untuk mendapatkan materi dalam tugasnya, melainkan karena mengharapkan keridhaan Allah semata-mata. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
(#qãèÎ7®?$# `tB w ž ö/ä3é=t«ó¡o #\ô_r& Nèdur tbrßtGôgB ÇËÊÈ
Artinya:
“Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepada-Mu, dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. Yasin: 21)[4]

Ini tidak berarti bahwa seorang guru harus hidup miskin, melarat, dan sengsara, melainkan boleh ia memiliki kekayaan sebagaimana lazimnya orang lain dan ini tidak berarti pula bahwa guru tidak boleh menerima pemberian atau upah dari muridnya, melainkan ia boleh saja menerimanya pemberian upah tersebut karena jasanya dalam mengajar, tetapi semua ini jangan diniatkan dari awal tugasnya. Pada awal tugasnya hendaklah ia niatkan semata-mata karena Allah. Dengan demikian, maka tugas guru akan dilaksanakan dengan baik, apakah dalam keadaan punya uang atau tidak ada uang.
Selanjutnya dijumpai pula pendapat Al-Ghazali bahwa hendaknya seorang guru tidak mengharapkan imbalan, balas jasa ataupun ucapan terima kasih, tetapi dengan mengajar itu bermaksud mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. [5] Mengenai masalah gaji guru, menurutnya, sosok guru ideal adalah yang memiliki motivasi mengajar yang tulus ikhlas. Dalam mengamalkan ilmunya semata-mata untuk  bekal di akhirat bukan untuk dunianya, sehingga tidak mengharapkan imbalan, dan menjadi panutan serta mengajak pada jalan Allah dan mengajar itu harganya lebih tinggi dari pada harta benda.
Selanjutnya menurut pendapat Zakiah Daradjat, untuk menjadi guru yang baik yaitu yang dapat memenuhi tanggung jawab yang dibebankan padanya, salain bertakwa kepada Allah, sehat jasmaninya, baik akhlaknya dan berjiwa sosial, seorang guru juga dituntut berilmu pengetahuan, yaitu dengan memiliki ijazah sebagai tanda bukti bahwa pemiliknya telah mempunyai ilmu pengetahuan dan kesanggupan tertentu yang diperlukan untuk suatu jabatan, yang selanjutnya harus berusaha mencintai pekerjaannya. Dan kecintaan terhadap pekerjaan guru akan bertambah besar apabila dihayati benar-benar keindahan dan kemuliaan tugas ini, karena boleh jadi itu sebenarnya tidak sengaja mengajar, akan tetapi ia menjadi guru hanyalah untuk mencari nafkah, maka pekerjaannya sebagai guru dinilai dari segi material. Apabila yang dipandang material atau hasil langsung yang diterimanya tidak seimbang dengan beban kerja yang dipikulnya, maka ia akan mengalami kegoncangan. Sehingga tindakan dan sikapnya terhadap anak didik akan terpengaruh pula. Hal itupun dapat merusak nilai pendidikan yang diterima oleh anak didik.[6]
Dengan melihat sekilas pemaparan atau uraian tentang sosok guru, bahwa sosok guru selalu mengalami perkembangan, begitu juga sosok guru Al-Ghazali dan Zakiah Daradjat ternyata ada perbedaan dan persamaan. Oleh karena itu, sangat relevan kiranya untuk diuji persamaan dan perbedaannya dalam sebuah karya ilmiah yang bersifat komparasi dalam judul: “SOSOK GURU MENURUT AL-GHAZALI DAN ZAKIAH DARADJAT (STUDI KOMPARATIF)”.

B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan pokok masalah di atas, sehingga rumusan masalah dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana sosok guru menurut Al-Ghazali.
2.      Bagaimana sosok guru menurut Zakiah Daradjat.
3.      Bagaimana  persamaan dan perbedaan sosok guru menurut Al-Ghazali dan Zakiah Daradjat.
4.      Sosok guru manakah yang sesuai dengan konteks pendidikan Indonesia saat ini.


[1]     Zakiah Darajat, Kepribadian Guru, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 7.
[2]     Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 62.
[3]     Abuddin Nata,  Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru dan Murid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 1.
[4]     DEPAG RI, Al-Quran dan Terjemahnya, op. cit., hlm 708. 
[5]      Al-Ghazali, Terj., Ismail Yakub, Ihya’ Ulumuddin, Cet VI,  (Semarang: C.V. Faizan, 1979), hlm. 214.
[6]     Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 41-42. 

studi komparatif

===================================  
Anda dapat memiliki word/file aslinya
Silahkan download file aslinya setelah menghubungi admin…..
klik disini  Hanya mengganti pengetikan,  50.000,- MURAH Meriah
Anda tidak repot lagi mencari referensi.
Di jamin asli.contohmakalah

No comments:

Post a Comment

1

2










                 KLIK

translet


Tags

tempat sharing

Blog Archive

Blog Archive