untuk mencari judul skripsi yang di inginkan
Wednesday, November 16, 2011
BOLEHKAH WANITA HAID DAN ORANG JUNUB MASUK MASJID..?
oleh : Syaikh Muhammad 'Ied al-Abbassiy
Pendapat Para Ulama’
Sejak dahulu para ulama’ telah berbeda pendapat dalam permasalahan ini atas empat
pendapat. Tiga pendapat di antaranya telah disebutkan oleh al-‘Alamah Ibnu Rusyd
rahimahullah [Bidayah al-Mujtahid, 1/.46] :
1. Sebagian dari kalangan madzhab Malik dan pengikutnya melarang secara muthlaq
2. Sebagian dari kalangan madzhab asy-Syafi’i melarang kecuali bagi pejalan dan bukan
bagi yang menetap di masjid
3. Sebagian dari kalangan madzhab Daud adh-Dhahiriy dan pengikutnya membolehkan
secara muthlaq.
Aku (penulis –red-) berkata, “Dan telah dinukil juga (yang demikian) oleh penulis al-Fath
ar-Rabbaniy li Tartibi Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibaniy, 2/165 dari Zaid
bin Tsabit, Daud dan ahlu Dhahir, sebagaimana juga asy-Syaukaniy telah menukilnya
dari al-Muzanniy pengikut asy-Syafi’iy. (Lihat Nail al-Authar, 1/251)
4. Sebagian mengatakan bahwa selama yang sedang junub telah berwudhu maka boleh
masuk baginya ke dalam masjid. Pendapat ini dinukil oleh Ibnu Katsir (dalam tafsirnya,
1/205) dari Imam Ahmad, dan dinukil juga oleh imam asy-Syaukani dan Muhammad
Syamsul Haq al-Adhim Aabadiy dari Imam Ahmad dan dari Ishaq bin Rahawaih dan Ibnu
Qadamah (‘Aunul Ma’buud, 1/391), dan asy-Syaukani menyebutkan bahwa Imam Ahmad
dan Ishaq mengkhususkan yng demikian bagi wanita yang berhadats besar (junub) dan
bukan haid. Keduanya mengambil dalil hadits sebagaimana diriwayatkan oleh Sa’ied bin
Manshur dan al-Bukhari (dalam at-Tarikh al-Kabir) dari Athaa bin Yasar, dia berkata,
“Aku telah melihat beberapa laki-laki dari sahabat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
sallam sedang duduk di dalam masjid dan mereka dalam keadaan junub, jika para
sahabat sedang wudhu untuk melakukan shalat.
Dan juga riwayat Hanbal bin Ishaq sahabat Ahmad dari Zaid bin Aslam, dia
berkata,”Suatu hari sahabat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa salam berhadats sedang
mereka ada di dalam masjid dan mereka juga tidak dalam keadaan berwudhu, dan pada
saat itu salah seorang dari mereka sedang junub, maka dia berwudhu kemudian masuk
masjid dalam keadaan berhadats.
Aku berkata, “Ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
(Majmu’ah al-Fatawa al-Kubra, 1/313, Abdur Rahman bin Qasim), dan al-Khathabiy
menganggap pendapat Ahmad, Ishaq dan adh-Dhahiriyah atau sebagian dari mereka
sebagai pendapat yang sama sebagaimana dia berkata, “Bahwa Imam Ahmad bin Hanbal
dan Jama’ah dari Ahli Dhahir membolehkan bagi Junub masuk ke dalam masjid, kecuali
Imam Ahmad yang menganjurkan baginya berwudhu jika ingin masuk ke dalam masjid.
Aku berkata, “Bahwa pendapat al-Khathabiy adalah bagus dan kuat”.
2
Argumentasi Setiap Madzhab
Perbedaan pendapat di antara madzhab yang telah diikuti oleh kebanyakan kaum Muslimin
dalam permasalahan ini, sebagaimana berikut;
Madzhab asy-Syafi’iyah;
Diharamkan bagi orang yang junub berdiam diri di dalam masjid, baik dalam keadaan
duduk, berdiri, atau dalam keadaan apapun, dan apakah dia telah berwudhu atau dalam
keadan selain yang demikian. Dan diperbolehkan baginya melewati dengan tidak
berdiam diri (mendiami), apakah dalam keadaan ada kepentingan atau tidak.
Mereka berdalil dengan firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala, “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk,
sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri
masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja,
hingga kamu mandi” (Q.S an-Nisa’:43)
Mereka juga beralasan dengan hadits Jasrah (Dinukil oleh al-Imam an-Nawawiy dalam
Majmu’ 2/173).
Madzhab al-Hanabilah;
Madzhab ini mencocoki madzhab asy-Syafi’iyah, hanya saja mereka membolehkan
berlalu saja manakala ada kepentingan tertentu, seperti mengambil sesuatu,
meninggalkan sesuatu, atau karena merupakan jalan. Adapun selain yang demikian
maka tidak boleh. (Lihat al-Mughni, Ibnu Qadamah, 1/200-201, tahqiq at-Turkiy dan al-
Halwa)
Mereka juga beralasan dengan ayat (Q.S an-Nisa’:43) dan hadits Hasrah dan hadits
‘Aisyah, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berkata
kepadanya: “Siapkanlah al-Humrah (semacam sajadah) dari masjid. Lalu
‘Aisyah berkata: Saya sedang haid. Beliau bersabda: Sesungguhnya haid kamu
tidak di tanganmu” (HR. Muslim dan at-Turmudzi, no. 134, dan Abu Dawud, no. 261,
dan an-Nasa’i, no. 272, dan Ibnu Majah, no. 632)
Mereka juga melarang bagi seorang wanita haid sekedar berlalu saja kalau dikhawatirkan
akan mengotori masjid.
Mereka mengatakan, apabila seorang junub telah berwudhu maka bagi dia boleh
menetap di masjid (Lihat al-Mughni, Ibnu Qadamah, 1/135-137)
Mereka beralasan dengan hadits Jaid bin Aslam dari para sahabat, bahwa mereka suatu
ketika berhadats sedang mereka berada di dalam masjid tanpa berwudhu, dan ketika itu
seorang laki-laki dalam keadaan junub kemudian bermudhu, dan masuk masjid dalam
keadaan berhadast.
Hal ini menunjukkan isyarat kesepakatan (ijma’) mereka dalam masalah ini, di mana
yang demikian merupakan pengkhususan dari dalil yang bermakna umum. Dan
disamping juga dengan berwudhu maka hukum hadast besar (junub) menjadi lebih
ringan sebagaimana tayamum manakala tidak mendapati air berdasarkan perintah Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yang junub agar berwudhu apabila ingin
tidur, dan dianjurkan apabila hendak makan dan mengulangi hubungan suami istri
(jima’). Adapun wanita yang sedang haid maka tidak diperbolehkan berdiam diri di
masjid, karena berwudhunya dalam kondisi demikian tidak sah (Lihat, al-Mughniy, Ibnu
Qatamah, 1/135-137). Dan yang demikian adalah pendapat Ishaq bin Rahawaih juga.
3
Madzhab al-Hanafiyah dan al-Malikiyah;
Mereka berpendapat bahwa orang junub diharamkan menetap masjid atau hanya
sekedar lewat dalam kondisi dan dalam bentuk apapun.
Mereka beralasan dengan hadits Jasyrah dan hadits Abu Sa’id al-Khudriy, dan mereka
berkomentar bahwa hadits yang diriwayatkan oleh keduanya adalah merupakan dalil al-
Imam asy-Syafi’i perihal diperbolehkannya orang junub masuk masjid secara muthlaq
walaupun hanya berjalan, (karena di dalamnya tidak isyarat yang membedakan antara
berjalan/melewati dengan berdiam diri/menetap).
Adapun Madzhab al-Hanafiyah membolehkan baginya melewati jika mengharuskanya
lewat, dengan cara berwudhu atau tayamum lalu lewat, sebagaimana pendapat ini
dinukil dari Sufyan al-Tsauri dan Ishaq bin Rahawaih juga. (Lihat, al-Muhallaa, 2/184-187
dan al-Mujmu’, 1/173)
Mazdhab adh-Dhahiriyah: Dawud dan Ibnu Hazm;
Mereka berpendapat diperbolehkan bagi seorang yang junub, haid dan nifas berdiam diri
di masjid secara muthlaq dan tidak terbatas pada syarat tertentu.
Dan di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Mundzir dan al-Muzanniy
sebagaimana yang dinukil dari Zaid bin Aslam (dinukil oleh an-Nawawiy dalam al-Majmu’,
2/173), mereka beralasan bahwa pada asalnya segala sesuatu tidak terlarang untuk
dilakukan, dan bagi yang berpendapat haram tidak berdasarkan atas dalil yang shahih
dan jelas, dan argumentasi yang lain bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seorang muslim tidak najis” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Dan
manakala seorang wanita diperbolehkan berdiam diri di masjid, maka seorang yang
sedang junub lebih-lebih lagi.(Lihat, al-Muhallaa, Ibnu Hazm, 2/184-185 dan al-Majmu’,
1/174).
Begitu juga suatu ketika ahlu Shufa pada masa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bermalam di masjid, sementara di antara mereka ada yang bermimpi namun yang lain
dari mereka tidak memberikan peringatan apapun, dan hadits ‘Aisyah mengkhabarkan
bahwa bahwa walidah Sauda’ suatu saat adalah milik sekelompok masyarakat Arab,
kemudian mereka memerdekakannya. Lalu beliau datang kepada Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan masuk Islam sementara pada saat itu dia memiliki rumah kecil yang
terbuat dari bulu-bulu hewan di dalam masjid.”
Asal Mula Terjadinya Silang Pendapat
Secara garis besar, bahwa terjadinya perbedaan pendapat dalam permasalahan ini
dikarenakan dua sebab:
Sebab Pertama:
Perbedaan dalam menafsirkan firman Allah Subhaanahu Ta’ala yang termaktub di dalam Q.S
an-Nisa’:43 –sebagaimana tersebut sebelumnya, red-.
Ibnu Rusyd mengatakan: “Bahwa yang menjadikan sebab al-Imam asy-Syafi’I dan Ahlu
Dhahir berselisih dalam masalah ini adalah perbedaan dalam memahami makna Q.S an-
Nisa’:43, apakah makna yang terkandung dalam ayat termasuk majas (kiasan) yaitu ada
kalimat yang tersembunyi, yaitu tempat shalat, sehingga bermakna, artinya “Hai orang-orang
4
yang beriman, janganlah kamu mendekati tempat shalat (masjid)” dan عَابِرِي سَبِيلٍ (sekedar
berlalu saja) merupakan pengecualian dari larangan tersebut ataukah makna yang
terkandung bukanlah makna majaz sehingga ayat tersebut bermakna berdasarkan
hakekatnya (tekstual) dan عَابِرِي سَبِيلٍ bermakna musafir yang tidak mendapatkan air
sementara dia dalam keadaan junub.
Dan bagi yang mengatakan bahwa ayat tersebut mengandung maka majaz (kiasan)/ada yang
tersembunyi, maka diperbolehkan bagi seorang yang junub berjalan di dalam masjid dan
adapun yang mengatakan tidak boleh, maka saya tidak mendapatkan baginya dalil dalam
masalah ini melainkan yang diriwayatkan dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam (sebab yang
ke dua).
Al-Imam Ibnu Jarir mengomengomentari perbedaan dua pendapat ini, dengan mengatakan:
Telah berbeda pendapat ahlu takwil dalam menakwilkan ayat ini. Sebagian mereka
mengatakan mengatakan bahwa makna ayat “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan, dan sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali عَابِرِي سَبِيلٍ , yaitu musafir
(orang bepergian) sehingga orang yang sedang junub tersebut mandi.
Dan sebagian yang lain mengatakan: “bahwa maksud ayat tersebut adalah “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mendekati tempat shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, dan sedang kamu dalam keadaan
junub kecuali عَابِرِي سَبِيل yaitu sekedar berlalu saja (keluar dari masjid), dan mereka
mengatakan bahwa kalimat mendirikan shalat menduduki makna kalimat tempat shalat dan
masjid, apabila shalatnya kaum Muslimin didirikan di masjid maka mereka tidak akan
menyepelekannya pada saat itu, sehingga larangan mendekati shalat sebagaimana yang ada
dalam ungkapan ayat tersebut telah mencukupi daripada menyebut masjid dan tempat sholat
yang mereka shalat di dalamnya. (Lihat, Tafsir, 8/379. dan 380)
Dan di antara para shahabat yang berpendapat sebagaimana tafsir yang pertama bahwa
yang dimaksud عَابِرِي سَبِيل adalah musafir (orang bebergian) adalah Ali bin Abu Thalib
(khalifah ke empat), sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, Ibnu Jarir, al-Baihaqi,
dan Ibnu Abu Syaibah dan sebagaimana dinukil oleh al-Hafidz as-Suyuti dari al-Faryaabiy dan
Abd bin Humaid dan Ibnu Mundzir dengan isnad yang baik.
Dan yang berpendapat demikian juga Ibnu Abbas, sebagaimana diriwayatkan darinya oleh
Ibnu Jarir dan Abu Bakar bin Abu Syaibah dari dua jalan dengan sanad yang baik dan shahih.
(Lihat, Dar al-Mantsur, 2/165)
Dan di antara Tabi’in yang berpendapat demikian adalah Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, al-
Hasan bin Muslim bin Yunaq al-Makkiy.
Dan penafsiran yang demikian disebarluaskan oleh ulama adh-Dhahiriyah, khususnya al-
Imam Ibnu Hazm dan ulama al-Hanafiyah meskipun mereka juga mengharamkan wanita haid
dan orang junub masuk masjid berdasarkan hadits Jasyrah binti Dajajah yang akan dibahas
selanjutnya.
Berkata al-Imam an-Nawawiy: Berkata shahabat Abu Hanifah bahwa yang dimaksud ayat
tersebut adalah seseorang yang bepergian (musafir) jika dalam keadaan junub dan tidak
mendapati air diperbolehkan baginya bertayamum dan mendirikan shalat meskipun sifat
junub masih ada karena yang dimaksudkan adalah hakekat shalatnya. Dan ulama Hanafiyah
yang berpendapat demikian adalah al-Murghinaniy dan Ibnu Hamam dan selain keduanya.
Adapun tafsir yang kedua, yang mengatakan bahwa maksud عَابِرِي سَبِيل alah sekedar berlalu
di dalam masjid tidak bersumber dari seorangpun dari Shahabat sebagaimana yang saya
(penulis) ketahui, dan diriwayatkan dengan sanad yang lemah dari Abdullah bin Mas’ud,
Abdullah bin Abbas. Dan adapun dari kalangan Tabi’in pendapat yang demikian dinisbatkan
5
kepada Said bin Musyaiyib, al-Hasan al-Bashriy, Ibrahim bin Yazid an-Nakha’iy, Zaid bin
Aslam; dan diriwayatkan dengan sanad yang lemah dari ‘Atha’, Abu ‘Ubaidah ‘Amir bin
Abdullah bin Mas’ud, Ikrimah, Said bin Zubair dan Zuhriy. Dan yang berpendapat demikian
juga al-Imam as-Safi’i.
Dan penafsiran yang demikian dikuatkan oleh Ibnu Jarir dengan mengatakan: “Bahwa yang
kuat di antara dua penakwilan perihal ayat tersebut adalah yang mengatakan :
Dan وَلاَجُنُبًا إِلاَّعَابِرِي سَبِيلٍ bermakna sekedar berlalu di dalam masjid, karena hukum seorang
musafir apabila tidak mendapatkan air padahal dalam keadaan junub telah dijelaskan dalam
firman-Nya dalam surat al-Maidah:6
Dengan demikian dapat difahami sekiranya عَابِرِي سَبِيلٍ bermakna musafir, maka Allah Ta’ala
tidak akan menyebutnya kembali dalam ayat tersebut (Q.S al-Maidah: 6) sebagaimana yang
dikatakan oleh jumhur ulama’ (Lihat, Tafsir Ibnu Katsir, 1/502).
Adapun Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa larangan yang terkandung di
dalam ayat (Q.S an-Nisa’:34) adalah mendirikan shalat dan mendekati tempatnya juga.
(Lihat, al-Fatawa al-Kubraa, 1/126).
Sebab Kedua:
Adanya perbedaan dalam pengambilan dalil dalam hadits yang bersumber dari Jasyrah binti
Dajajah dari ‘Aisyah, beliau berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“……maka sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi seorang wanita
haid dan seorang yang junub.“(HR. Abu Dawud, no. 232)
Dan dari jalan yang lain, darinya juga dari Ummu Salamah, beliau berkata bahwa Rasululklah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “…..Sesungguhnya masjid tidak halal bagi
seorang junub dan seorang wanita haid.”(HR. Ibnu Majah, no. 645)
Aku (penulis) mengatakan: Telah berselisih pendapat di antara para ulama dalam
pengambilan dalil hadits ini dengan perselisihan yang tajam.
Terhadap hadits yang pertama, telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, asy-Syaukaniy, dan
dihasankan oleh Ibnu Khaththan , al-Zaila’iy, dan Ibnu Sayidun Nas serta dilemahkan oleh
Ibnu ar-Ruf’ah, dan dia mengatakan perawi hadits ini matruk.
Dan di antara ulama yang mengganggap bahwa hadits ini lemah dengan komentar yang
berbeda-beda adalah al-Baihaqi, al-Khaththabiy, al-Hafidz Ibnu Abdil Baar al-Andulusiy, al-
Hafidz al-Mundziriy. Dan al-Bukhariy mengatakan: Pada diri Jasyrah terdapat keanehan.
Adapun hadits yang kedua, dilemahkan oleh al-Hafidz al-Bushairiy, dan Ibnu Hazm.
Syaikh al-Albaniy mengatakan: “Bahwa dua hadits tersebut bersumber dari sanad yang sama
(tidak sebagaimana yang ada, satu bersumber dari ‘Aisyah dan yang lainnya bersumber dari
Ummu Salamah –red), sehingga dengan demikian Jasyrah binti Dajajah seorang mudhtharib
(lemah dalam meriwayatkan dan tidak kuat hafalan), suatu ketika meriwayatkan dari ‘Aisyah
dan pada saat yang lain dari Ummu Salamah. (Lihat, Tamamul Minnah, 1/4)
Kesimpulan Analisa
Setelah terpaparkan penjelasan di atas, maka pendapat yang paling kuat adalah
sebagaimana yang dikatakan oleh adh-Dhahiriyah Dawud bin Ali, Ibnu Hazm al-Andulusiy,
disamping Abu Bakar bin al-Mundzir, al-Muzanniy shahabat asy-Syafi’i bahwa diperbolehkan
6
bagi seorang junub dan yang sejenisnya seperti wanita haid, dan nifas masuk ke dalam
masjid secara muthlak, baik berdiam diri, berlalu (lewat), atau bukan karena sebab apa-apa
(tidak ada keperluan), meskipun sebaiknya dalam keadaan suci baik dari hadats besar
ataupun hadast kecil.
Hanya saja sekiranya tidak dalam keadaan suci maka tidak terlarang baginya masuk ke dalam
masjid dan tidak berdosa dengan alasan sebagai berikut:
Pada asalnya setiap sesuatu itu mubah (boleh) dilakukan, sementara tidak ada dalil
shahih yang dapat dijadikan dasar bahwa hal ini adalah haram dengan alasan:
a. Bahwa tafsir QS. an-Nisa’ ayat 43 yang kuat adalah “Sesungguhnya Allah Ta’ala
melarang orang yang mabuk mendirikan shalat dan mendekatinya sampai
kemudian dia sadar apa yang dikatakan, sebagaimana Allah Ta’ala
melarang orang junub melakukan demikian sampai kemudian dia mandi,
akan tetapi diperbolehkan baginya dalam satu kondisi tertentu manakala
dia bepergian dan tidak mendapatkan air, maka dia harus tayamum
kemudian shalat.”
b. Adapun tafsir yang kedua sebagaimana penafsiran golongan yang mengharamkan
bahwa yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah seorang junub terlarang
mendekati tempat shalat, yaitu masjid hingga dia mandi dan diperbolehkan baginya
berlalu (lewat) dan tidak berdiam diri merupakan penafsiran yang lemah dilihat dari
beberapa hal:
1. Secara asal setiap ungkapan dalam kaidah bahasa Arab harus difahami secara
tekstual (haqiqah) dan tidak boleh di artikan secara majaz (kiasan) kecuali tidak
memungkinkan atau adanya qarinah (pendukung/isyarat) yang menunjukkan
makna kiasan. Padahal tidak ada halangan sama sekali ayat tersebut ditafsirkan
apa adanya sebagaimana tidak adanya pendukung sama sekali sehingga dapar
ditafsirkan secara majaz.
Dengan demikian wajib ditafsirkan menurut konteks yang ada, yaitu bahwa
yang dimaksudkan dalam kalimat shalat adalah dzat shalat itu sendiri dan bukan
tempat shalat (masjid) sebagaimana yang dikatakan golongan yang melarang.
Dan sekiranya yang dimaksudkan demikian tentunya Allah Subahaanahu wa
Ta’ala akan menjelaskannya, karena bagi-Nya sangatlah mudah. Oleh
karenanya tidak boleh disangkan bahwa Allah Ta’ala hendak mengatakan:
“Janganlah kalian mendekati tempat shalat” sementara terhadap kita hanya
mengatakan: “Jangalah mendekati (mendirikan) shalat.” Sebagaimana yang
dikatakan Ibnu Hazm. (al-Muhallaa, 2/174-175)
2. Bahwa penakwilan ayat tersebut bagi golongan yang mengharamkan
menimbulkan penafsiranya sebagian ayat berbeda dengan ayat yang lain, di
mana mereka menafsirkan kata “shalat” dalam kalimat yang pertama khusus
bagi orang yang mabuk dengan makna dzat shalat itu sendiri, sementara dalam
kalimat yang kedua mereka menafsirkannya dengan “tempat shalat” bagi orang
junub. Padahal semestinya secara adil kata “shalat” yang terdapat dalam dua
tempat yang berbeda harus diartikan sama, baik secara apa adanya ataupun
majaz (kiasan), yaitu baik diartikan dzat shalat itu sendiri atau tempat shalat.
Namun demikian tidak dibenarkan mengartikan kalimat pertama dengan majaz,
karena yang seperti ini tak seorangkun dari ulama yang mengatakan demikian
sehingga diharamkan bagi seorang yang mabuk mendekati masjid sementara
dia suci dari hadats besar apalagi pada saat itu minuman keras (Khamr) belum
diharamkan.
Dengan demikian tidak ada jalan lain kecuali membawa makna kalimat
keduanya dengan cara apa adanya (tekstual), sehinga bagi mereka yang
7
mengharamkan wanita haid dan orang junub masuk masjid tidak ada dalil
baginya yang dapat dijadikan dasar pengharamannya.
Kalau sekiranya kata “shalat” dalam kalimat yang kedua kita artikan tempat
shalat, maka akan menghasilkan hukum yang sangat aneh yang sebelumnya
tidak pernah terbersit oleh setiap muslim, yaitu tidak diperbolehkan bagi orang
junub dan wanita haid berdiam diri dan tinggal di manapun yang bersih dari
najis kecuali makam dan toilet, karena kesemuanya adalah tempat sujud dan
tempat shalat, dan bukanlah masjid saja. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Dijadikan bumi ini bagiku tempat yang baik, alat
bersuci dan masjid (tempat sujud), maka bagi siapapun yang telah datang
waktu shalat agar shalat di mana saja.” (HR. Muslim, 5/32 dan Abu Dawud, no.
489) Dan dalam hadits yang lain beliau bersabda: “Dijadikan bagi kami bumi ini
keseluruhannya adalah masjid, dan dijadikan debunya bagi kami alat bersuci
apabila tidak ada air.” (HR. Muslim, 5/4)
Dan telah datang dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga yang menjelaskan
bahwa beliau telah memerintahkan kaum wanita termasuk di dalamnya wanita
haid keluar ke tanah lapang untuk menghadiri shalat ied sebagaimana
diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah al-Anshariyah, dia berkata: “Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada kami agar
mengajak untuk shalat Iedul Fithri dan Iedul Adha para gadis, wanita
haid dan wanita yang dipingit, maka terhadap wanita haid tidak
melakukan shalat…..”(HR. al-Bukhari dan Muslim).
Maka selagi masjid tidak berbeda dengan tempat-tempat yang suci selainnya
dalam sisi dapat digunakan sebagai tempat shalat, dalil apa yang dapat
dijadikan landasan sehingga masjid dikhususkan daripada tempat-tempat yang
lain sehingga terlarang (bagi wanita haid dan orang junub)????
c. Bahwa penafsiran pertama bersumber dari para shahabat sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Ali bin Thalib dan Ibnu Abbas, dan tidak diketahui bahwa
keduanya menyelisihi shahabat yang lain sementara penafsiran yang kedua tidak
bersumber dari mereka, dan mereka adalah sebaik-baik masa dan yang paling
faham terhadap Kitab Allah Ta’ala.
Syubhat dan Jawaban
Adapun syubhat (kejanggalan) yang dilontarkan oleh Ibnu jarir terhadap penafsiran pertama
dan didukung oleh Ibnu Katsir, bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’ala telah menjelaskan hukum
yang berkaitan dengan musafir yang tidak mendapati air pada QS. al-Maidah ayat 6 dan
sekiranya yang di maksudkan وَلاَجُنُبًا إِلاَّعَابِرِي سَبِيلٍ dalam ayat 43 dalam Qs. an-Nisa’ adalah
musafir maka ada pengulangan dalam ayat, dan yang demikian tidaklah layak berkaitan
denga perkataan Allah.
Aku (penulis) katakan sebagaimana hal ini dijelaskan oleh asy-Syaikh al-Albaniy: “Dalam
perkara ini tidak ada permasalahan dan pengulangan, dikarenakan ayat yang satu berbicara
suatu permasalahan dan ayat yang lain berbicara permasalahan yang lain. Di mana dalam
ayat yang pertama menjelaskan haramnya seorang yang mabuk dan junub mendirikan shalat
kecuali dalam keadaan safar (bepergian) saja dan tidak menjelaskan dan menerangkan
secara gamblang apa yang seharusnya dia lakukan, sehingga pada ayat yang lain dijelaskan
dan diterangkan apa yang semestinya dilakukan oleh seorang musafir yaitu dengan tayamum
dan mendirikan shalat dan tayamum cukup sebagai ganti mandi.
8
a. Dan adapun pengambilan dalil atas hadits yang diriwayatkan dari Jasyrah al-Dajajah
yang bersumber dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah dalam permasalahan ini tidaklah tepat
dan lemah dari sisi sanadnya (perawi), karena Jasyrah seorang yang tidak dikenal
bahkan dia tercela (ada cacat) serta tidak ada seorangpun yang terkenal ketsiqahannya
(dipercaya) mengganggap dia tsiqah, kecuali Ibnu Hibban dan al-‘Ajaliy. Al-Bukhariy
mengatakan bahwa pada diri Jasyrah ada keanehan. (sebagaimana yang dinukil oleh al-
Baihaqi dalam Sunannya, 2/443 dan Ibnu Hajar dalam at-Tahdzib, 12/406)
Dengan demikian, tidak ada jalan lagi untuk menshahihkan dan menghasankan hadits
Jasyrah, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama’ sehingga tidak dapat
dijadikan dalil dan dasar dalam permasalhan ini.
b. Telah termaktub di dalam as-Sunnah bahwa ahlush Shuffah suatu ketika bermalam di
dalam Masjid Nabawiy, dan mereka dari kalangan pemuda perjaka yang tentunya
memiliki kemampuan lebih dari sisi biologis di mana merupakan hal yang sangat biasa
dan tidak bisa dipungkiri kalau kemudian mereka bermimpi dan berhadast besar (junub),
namun demikian Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang mereka berdiam diri
di masjid dan menetap di dalamnya. Dan sekiranya yang demikian adalah haram
tentunya beliau melarang tau memerintahkannya keluar. Dan manakala hal ini tidak
dilakukan, maka menunjukkan diperbolehkannya seorang yang junub berdiam diri di
masjid.
c. Telah termaktub di dalam as-Sunnah juga suatu saat walidah Sauda’ seorang budak tidur
dalam rumah kecil yang terbuat dari bulu yang berada dalam masjid, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Aisyah(HR. al-Bukhari, 1/124; 244 dari Mukhtashar al-
Albaniy dan Fathul Bari, 2/80; 8/150).
Maka pada situasi seperti ini tentunya sebagaimana kebiasaan seorang wanita, dia akan
mengalami masa haid, namun Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak merang dia tidur
di dalamnya. Dan sekiranya yang demikian terlarang maka Nabi sama sekali tidak akan
memperkenankan sama sekali.
d. Nabi mendiamkan dan memerintahkan terhadap sebagian orang-orang musyrik berdiam
diri di dalam Masjid Nabawiy, sebagaimana yang termaktub di dalam as-Sunnah yang
menjelaskan sejumlah orang-orang musyrik berdiam diri di masjid Nabawiy dan tidur di
dalamnya sepengetahuan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahkan kenyataanya Nabi
memerintahkannya sebagaimana yang diriwayatkan Abu Hurairah, dia berkata: “Bahwa
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan berkuda ke arah Najd, kemudian
pasukan itu membawa seorang laki-laki dari bani Hunaifah bernama Tsumamah bin
Atsaal, kemudian mereka mengikatnya di serambi dari serambi-serambi masjid.” (HR. al-
Bukhari, 2/102 dari Fathul Baari dan Abu Dawud, 2/452; 3/82) dan hadits-hadits yang
lain.
Dan tidak dapat dipungkiri bahwa orang musyrik lebih parah kondisinya dari sisi
kesuciannya daripada seorang muslim yang junub, karena tidak ada dosa yang lebih
besar lagi selain kekufuran dan orang musyrik dalam kondisi apapun dalam keadaan
junub karena seringnya mereka dalam kondisi demikian dan tidak ada tuntunan bagi
mereka mandi besar (janabah). Dan meskipun mereka mandi tentulah mandinya mereka
tidak ada artinya apa-apa.
Maka manakala seorang kafir yang terkumpul pada dirinya kesyirikan dan hadast besar
boleh secara syara’ masuk masjid Nabawiy dan berdiam diri (tinggal) di dalamnya
padahal merupakan masjid yang paling suci dan mulia setelah masjil Haram, maka
masuk ke dalam masjid-masjid yang biasa dan berdiam diri di dalamnya bagi seorang
muslim yang junub lebih mendapat legalitas karena dia suci dalam kondisi apapun.
9
e. Nabi Shalallaahu ‘alaihi sallam tidak melarang ‘Aisyah ketika datang haid
masuk ke dalam Masjidil Haram ketika haji, dan hal ini terjadi pada haji wada’
dengan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat HR. al-Bukhari dan
Muslim; serta Ahmad dalam Musnadnya, 12/103)
Di dalam hadits ini Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperkenankan ‘Aisyah ketika
datang haid menunaikan seluruh aktifitas ibadah haji selain shalat dan thawaf. Dan tidak
dapat dipungkiri bahwa yang bisa dilakukan oleh jama’ah haji adalah masuk masjidil
Haram, sementara yang demikian tidak dikecualikan oleh Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa
sallam sebagaimana beliau mengecualikan shalat dan thawaf. Maka hal ini menunjukkan
yang demikian boleh bagi seorang wanita haid. Dan kalau sekiranya hal yang demikian
terlarang, maka Nabipun menjelaskannya karena hukum yang demikian dibutuhkan.
f. ‘Aisyah juga berkata: Berkata Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam: Ambilkan untukku
al-Humrah (sejenis sajadah) dari masjid. Maka ‘Aisyah berkata: Sesungguhnya aku
sedang haid, maka Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya haid kamu tidak ada di
tanganmu.”
Dalam hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah memerintahkan kepada ‘Aisyah agar
masuk ke dalam Masjid Nabawiy dan mengambilkan al-Humrah dari masjid, namun
dalam kondisi pada saat itu ‘Aisyah ragu sebagaimana keraguan yang terjadi pada
kebanyakan orang di zaman sekarang, dan dia mengira Nabi tidak tahu atau lupa bahwa
dia dalam keadaan haid sehingga dia mengabarkannya, dan pada saat itu Nabi
menjawab: “ Sesungguhnya haid kamu tidak di tanganmu.”, yaitu bahwa darah yang
biasa keluar setiap bulan bagi seorang wanita -yang dengannya masjid akan terjaga
darinya karena najis- tidak ada di tangannya, sehingga tidak mengapa kalau dia masuk
ke dalam masjid, karena dia tidak akan mengotori dan membuat masjid menjadi najis.
Dengan demikian berdasarkan sabda Rasulullah di atas dapat dikatakan bahwa darah
haid seorang wanita tidak di kakinya, namun di tempat yang telah diketahui dan
kebiasaan wanita adalah selalu menjaga diri dan pakainnya dari kotoran darah haid
apalagi tempat duduknya atau yang dilewati. Kalau kondisinya demikian maka tidak ada
seatu yang dapat dijadikan alas an sehingga dia takut masuk ke dalam masjid.
Dan hadits ‘Aisyah ini, merupakan dasar dan dalil yang paling jelas dalam permasalahan
ini. Dengan demikian kalau seorang wanita haid tidak terlarang masuk ke dalam masjid
dan berdiam diri (tinggal) di dalamnya, maka orang junub lebih berhak lagi, karena najis
yang ada padanya adalah najis ma’nawiyah (secara makna) dan bukan secara fisik
sebagaimana haid yang terjadi pada seorang wanita.
g. Hadits di atas juga dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang
mengabarkan dia bertemu dengan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam di sebuah jalan
Madinah dan dia dalam keadaan junub, kemudian secara diam-diam dia pergi. Maka
Rasulullah merasa kehilangan, sehingga ketika dia datang kepada beliau, Rasulullah
bertanya: Diamana anda tadi wahai Abu Hurairah? Dia menjawab: Wahai Rasulullah
anda menjumpaiku dan aku dalam keadaan junub, sementara aku tidak suka duduk
bersamamu hingga aku mandi. Maka Rasulullah bersabda: Maha suci Allah,
sesungguhnya seorang mukmin tidak najis.” (HR. Muslim, 4/66-67 dalam syarah an-
Nawawiy)
Di dalam hadits ini secara implisit telah jelas-jelas menunjukkan bahwa seorang mukmin
adalah suci tidak najis dalam kondisi apapun, baik dia berwudhu atau tidak, suci dari
hadats besar atau junub. Dan selagi dia suci, maka tidak ada sesuatupun yang dapat
menghalangi dia masuk masjid dan berdiam diri(tinggal) di dalamnya.
h. Bahwa pendapat ini merupakan pendapat para shahabat secara umum, sebagaimana
yang diriwayatkan al-Imam Abu Bakar bin Abu Syaibah 9di dalam Mushannif, 1/46; 172)
10
dari Zaid bin Aslam, dia berkata: Suatu ketika seorang di antara mereka (shahabat)
dalam keadaan junub kemudian masuk masjid dan berbicara di dalamnya”
Berita ini telah menunjukkan waktu itu para shahabat ada yang berhadast besar (junub)
dan mereka masuk masjid, dan mereka adalah murid dan shahabat Nabi Shallallaahu
‘alaihi wa sallam yang dari beliau mereka mengambil tuntunan dan mereka tidak
merubah dan menggantinya sehingga mendapatkan pujian dan sanjungan dari Allah
Subhahaanahu wa Ta’ala dan Rasulullah-pun memberikan rekomendasi kepada mereka.
Dan pada dasarnya apa yang dilakukan oleh mereka telah mendapat persetujuan Nabi
Shallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan sangatlah tidak mungkin mereka melakukan setiap
amalan setelah beliau berdasarkan pendapat pribadi semata, padahal dalam
permasalahan ini sangat dimungkinkan terjadi perpedaan pendapat di antara mereka
sehingga segolongan dari mereka berpendapat dengan pendapat tertentu dan selain
mereka berpendapat yang lain. Wallahu a’lamu bish shawab.
i. Di samping dalil-dalil naqli (hadits) di atas, maka secara akal-pun dapat disimpulkan
bahwa seorang wanita haid manakala masuk masjid terkandung padanya manfa’at dan
faedah yang banyak, yang terpenting adalah hadirnya mereka di tempat iyu adalah
untuk menuntut ilmu, fiqh, dan berdzikir yang dapat menghubungkan dengan Rabb-nya.
Dan yang demikian sesuai dengan sabda Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam, ketika
beliau bersabda: “Janganlah kalian melarang wanita (mendapatkan) bagian
mereka dari masjid apabila mereka meminta izin kalian.” (HR. Muslim dari
Umar). Dalam hadits yang lain beliau bersabda: “Janganlah kalian melarang hambahamba
(wanita) Allah akan tetapi janganlah mereka keluar dan mereka
memakai wewangian.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Abu Hurairah, dan
dishahihkan oleh al-Albaniy dalam Shahih al-Jami’, no. 7334). Dan di dalam hadits yang
lain beliau bersabda: “Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian (pergi)
ke masjid dan rumah-rumah mereka lebih baik baginya.” (HR. Ahmad, Abu
Dawud dan al-Hakim dan dishahihkan oleh al-Albaniy dalam Shahih al-Jami’, no. 7335)
Maka bagi siapa saja yang merenungkan hadist-hadits di atas, dan memperhatikan
hikmah yang terkandung di dalamnya akan mengetahui bahwa Allah Subhaanahu wa
Ta’ala menghendaki seorang wanita muslimah senantiasa dalam keadaan berhubungan
dengan Allah Ta’ala untuk meningkatkan keimanan dirinya dan mendekatkan diri kepada-
Nya dengan harapan ilmu agamanya bertambah dan akhlak serta ibadahnya semakin
baik. Sementara tempat yang dapat dijadikan pusat yang demikian adalah masjid,
sehingga para lelaki tidak bileh melarang wanita-wanita mereka pergi ke masjid padahal
shalatnya mereka di rumah lebih utama dan agung pahalanya daripada shalat di masjid.
Dengan demikian, maka yang terkandung dari kemurahan Islam bagi tiga golongan di
atas, yaitu orang junub, wanita haid dan nifas adalah boleh masuk ke dalam masjid
faedah yang amat besar bagi mereka yang memiliki akal yang mau merenung dan
lapang dada.
11
Perhatian
Pendapat Para Ulama’
Sejak dahulu para ulama’ telah berbeda pendapat dalam permasalahan ini atas empat
pendapat. Tiga pendapat di antaranya telah disebutkan oleh al-‘Alamah Ibnu Rusyd
rahimahullah [Bidayah al-Mujtahid, 1/.46] :
1. Sebagian dari kalangan madzhab Malik dan pengikutnya melarang secara muthlaq
2. Sebagian dari kalangan madzhab asy-Syafi’i melarang kecuali bagi pejalan dan bukan
bagi yang menetap di masjid
3. Sebagian dari kalangan madzhab Daud adh-Dhahiriy dan pengikutnya membolehkan
secara muthlaq.
Aku (penulis –red-) berkata, “Dan telah dinukil juga (yang demikian) oleh penulis al-Fath
ar-Rabbaniy li Tartibi Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibaniy, 2/165 dari Zaid
bin Tsabit, Daud dan ahlu Dhahir, sebagaimana juga asy-Syaukaniy telah menukilnya
dari al-Muzanniy pengikut asy-Syafi’iy. (Lihat Nail al-Authar, 1/251)
4. Sebagian mengatakan bahwa selama yang sedang junub telah berwudhu maka boleh
masuk baginya ke dalam masjid. Pendapat ini dinukil oleh Ibnu Katsir (dalam tafsirnya,
1/205) dari Imam Ahmad, dan dinukil juga oleh imam asy-Syaukani dan Muhammad
Syamsul Haq al-Adhim Aabadiy dari Imam Ahmad dan dari Ishaq bin Rahawaih dan Ibnu
Qadamah (‘Aunul Ma’buud, 1/391), dan asy-Syaukani menyebutkan bahwa Imam Ahmad
dan Ishaq mengkhususkan yng demikian bagi wanita yang berhadats besar (junub) dan
bukan haid. Keduanya mengambil dalil hadits sebagaimana diriwayatkan oleh Sa’ied bin
Manshur dan al-Bukhari (dalam at-Tarikh al-Kabir) dari Athaa bin Yasar, dia berkata,
“Aku telah melihat beberapa laki-laki dari sahabat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
sallam sedang duduk di dalam masjid dan mereka dalam keadaan junub, jika para
sahabat sedang wudhu untuk melakukan shalat.
Dan juga riwayat Hanbal bin Ishaq sahabat Ahmad dari Zaid bin Aslam, dia
berkata,”Suatu hari sahabat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa salam berhadats sedang
mereka ada di dalam masjid dan mereka juga tidak dalam keadaan berwudhu, dan pada
saat itu salah seorang dari mereka sedang junub, maka dia berwudhu kemudian masuk
masjid dalam keadaan berhadats.
Aku berkata, “Ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
(Majmu’ah al-Fatawa al-Kubra, 1/313, Abdur Rahman bin Qasim), dan al-Khathabiy
menganggap pendapat Ahmad, Ishaq dan adh-Dhahiriyah atau sebagian dari mereka
sebagai pendapat yang sama sebagaimana dia berkata, “Bahwa Imam Ahmad bin Hanbal
dan Jama’ah dari Ahli Dhahir membolehkan bagi Junub masuk ke dalam masjid, kecuali
Imam Ahmad yang menganjurkan baginya berwudhu jika ingin masuk ke dalam masjid.
Aku berkata, “Bahwa pendapat al-Khathabiy adalah bagus dan kuat”.
2
Argumentasi Setiap Madzhab
Perbedaan pendapat di antara madzhab yang telah diikuti oleh kebanyakan kaum Muslimin
dalam permasalahan ini, sebagaimana berikut;
Madzhab asy-Syafi’iyah;
Diharamkan bagi orang yang junub berdiam diri di dalam masjid, baik dalam keadaan
duduk, berdiri, atau dalam keadaan apapun, dan apakah dia telah berwudhu atau dalam
keadan selain yang demikian. Dan diperbolehkan baginya melewati dengan tidak
berdiam diri (mendiami), apakah dalam keadaan ada kepentingan atau tidak.
Mereka berdalil dengan firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala, “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk,
sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri
masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja,
hingga kamu mandi” (Q.S an-Nisa’:43)
Mereka juga beralasan dengan hadits Jasrah (Dinukil oleh al-Imam an-Nawawiy dalam
Majmu’ 2/173).
Madzhab al-Hanabilah;
Madzhab ini mencocoki madzhab asy-Syafi’iyah, hanya saja mereka membolehkan
berlalu saja manakala ada kepentingan tertentu, seperti mengambil sesuatu,
meninggalkan sesuatu, atau karena merupakan jalan. Adapun selain yang demikian
maka tidak boleh. (Lihat al-Mughni, Ibnu Qadamah, 1/200-201, tahqiq at-Turkiy dan al-
Halwa)
Mereka juga beralasan dengan ayat (Q.S an-Nisa’:43) dan hadits Hasrah dan hadits
‘Aisyah, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berkata
kepadanya: “Siapkanlah al-Humrah (semacam sajadah) dari masjid. Lalu
‘Aisyah berkata: Saya sedang haid. Beliau bersabda: Sesungguhnya haid kamu
tidak di tanganmu” (HR. Muslim dan at-Turmudzi, no. 134, dan Abu Dawud, no. 261,
dan an-Nasa’i, no. 272, dan Ibnu Majah, no. 632)
Mereka juga melarang bagi seorang wanita haid sekedar berlalu saja kalau dikhawatirkan
akan mengotori masjid.
Mereka mengatakan, apabila seorang junub telah berwudhu maka bagi dia boleh
menetap di masjid (Lihat al-Mughni, Ibnu Qadamah, 1/135-137)
Mereka beralasan dengan hadits Jaid bin Aslam dari para sahabat, bahwa mereka suatu
ketika berhadats sedang mereka berada di dalam masjid tanpa berwudhu, dan ketika itu
seorang laki-laki dalam keadaan junub kemudian bermudhu, dan masuk masjid dalam
keadaan berhadast.
Hal ini menunjukkan isyarat kesepakatan (ijma’) mereka dalam masalah ini, di mana
yang demikian merupakan pengkhususan dari dalil yang bermakna umum. Dan
disamping juga dengan berwudhu maka hukum hadast besar (junub) menjadi lebih
ringan sebagaimana tayamum manakala tidak mendapati air berdasarkan perintah Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yang junub agar berwudhu apabila ingin
tidur, dan dianjurkan apabila hendak makan dan mengulangi hubungan suami istri
(jima’). Adapun wanita yang sedang haid maka tidak diperbolehkan berdiam diri di
masjid, karena berwudhunya dalam kondisi demikian tidak sah (Lihat, al-Mughniy, Ibnu
Qatamah, 1/135-137). Dan yang demikian adalah pendapat Ishaq bin Rahawaih juga.
3
Madzhab al-Hanafiyah dan al-Malikiyah;
Mereka berpendapat bahwa orang junub diharamkan menetap masjid atau hanya
sekedar lewat dalam kondisi dan dalam bentuk apapun.
Mereka beralasan dengan hadits Jasyrah dan hadits Abu Sa’id al-Khudriy, dan mereka
berkomentar bahwa hadits yang diriwayatkan oleh keduanya adalah merupakan dalil al-
Imam asy-Syafi’i perihal diperbolehkannya orang junub masuk masjid secara muthlaq
walaupun hanya berjalan, (karena di dalamnya tidak isyarat yang membedakan antara
berjalan/melewati dengan berdiam diri/menetap).
Adapun Madzhab al-Hanafiyah membolehkan baginya melewati jika mengharuskanya
lewat, dengan cara berwudhu atau tayamum lalu lewat, sebagaimana pendapat ini
dinukil dari Sufyan al-Tsauri dan Ishaq bin Rahawaih juga. (Lihat, al-Muhallaa, 2/184-187
dan al-Mujmu’, 1/173)
Mazdhab adh-Dhahiriyah: Dawud dan Ibnu Hazm;
Mereka berpendapat diperbolehkan bagi seorang yang junub, haid dan nifas berdiam diri
di masjid secara muthlaq dan tidak terbatas pada syarat tertentu.
Dan di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Mundzir dan al-Muzanniy
sebagaimana yang dinukil dari Zaid bin Aslam (dinukil oleh an-Nawawiy dalam al-Majmu’,
2/173), mereka beralasan bahwa pada asalnya segala sesuatu tidak terlarang untuk
dilakukan, dan bagi yang berpendapat haram tidak berdasarkan atas dalil yang shahih
dan jelas, dan argumentasi yang lain bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seorang muslim tidak najis” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Dan
manakala seorang wanita diperbolehkan berdiam diri di masjid, maka seorang yang
sedang junub lebih-lebih lagi.(Lihat, al-Muhallaa, Ibnu Hazm, 2/184-185 dan al-Majmu’,
1/174).
Begitu juga suatu ketika ahlu Shufa pada masa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bermalam di masjid, sementara di antara mereka ada yang bermimpi namun yang lain
dari mereka tidak memberikan peringatan apapun, dan hadits ‘Aisyah mengkhabarkan
bahwa bahwa walidah Sauda’ suatu saat adalah milik sekelompok masyarakat Arab,
kemudian mereka memerdekakannya. Lalu beliau datang kepada Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan masuk Islam sementara pada saat itu dia memiliki rumah kecil yang
terbuat dari bulu-bulu hewan di dalam masjid.”
Asal Mula Terjadinya Silang Pendapat
Secara garis besar, bahwa terjadinya perbedaan pendapat dalam permasalahan ini
dikarenakan dua sebab:
Sebab Pertama:
Perbedaan dalam menafsirkan firman Allah Subhaanahu Ta’ala yang termaktub di dalam Q.S
an-Nisa’:43 –sebagaimana tersebut sebelumnya, red-.
Ibnu Rusyd mengatakan: “Bahwa yang menjadikan sebab al-Imam asy-Syafi’I dan Ahlu
Dhahir berselisih dalam masalah ini adalah perbedaan dalam memahami makna Q.S an-
Nisa’:43, apakah makna yang terkandung dalam ayat termasuk majas (kiasan) yaitu ada
kalimat yang tersembunyi, yaitu tempat shalat, sehingga bermakna, artinya “Hai orang-orang
4
yang beriman, janganlah kamu mendekati tempat shalat (masjid)” dan عَابِرِي سَبِيلٍ (sekedar
berlalu saja) merupakan pengecualian dari larangan tersebut ataukah makna yang
terkandung bukanlah makna majaz sehingga ayat tersebut bermakna berdasarkan
hakekatnya (tekstual) dan عَابِرِي سَبِيلٍ bermakna musafir yang tidak mendapatkan air
sementara dia dalam keadaan junub.
Dan bagi yang mengatakan bahwa ayat tersebut mengandung maka majaz (kiasan)/ada yang
tersembunyi, maka diperbolehkan bagi seorang yang junub berjalan di dalam masjid dan
adapun yang mengatakan tidak boleh, maka saya tidak mendapatkan baginya dalil dalam
masalah ini melainkan yang diriwayatkan dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam (sebab yang
ke dua).
Al-Imam Ibnu Jarir mengomengomentari perbedaan dua pendapat ini, dengan mengatakan:
Telah berbeda pendapat ahlu takwil dalam menakwilkan ayat ini. Sebagian mereka
mengatakan mengatakan bahwa makna ayat “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan, dan sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali عَابِرِي سَبِيلٍ , yaitu musafir
(orang bepergian) sehingga orang yang sedang junub tersebut mandi.
Dan sebagian yang lain mengatakan: “bahwa maksud ayat tersebut adalah “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mendekati tempat shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, dan sedang kamu dalam keadaan
junub kecuali عَابِرِي سَبِيل yaitu sekedar berlalu saja (keluar dari masjid), dan mereka
mengatakan bahwa kalimat mendirikan shalat menduduki makna kalimat tempat shalat dan
masjid, apabila shalatnya kaum Muslimin didirikan di masjid maka mereka tidak akan
menyepelekannya pada saat itu, sehingga larangan mendekati shalat sebagaimana yang ada
dalam ungkapan ayat tersebut telah mencukupi daripada menyebut masjid dan tempat sholat
yang mereka shalat di dalamnya. (Lihat, Tafsir, 8/379. dan 380)
Dan di antara para shahabat yang berpendapat sebagaimana tafsir yang pertama bahwa
yang dimaksud عَابِرِي سَبِيل adalah musafir (orang bebergian) adalah Ali bin Abu Thalib
(khalifah ke empat), sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, Ibnu Jarir, al-Baihaqi,
dan Ibnu Abu Syaibah dan sebagaimana dinukil oleh al-Hafidz as-Suyuti dari al-Faryaabiy dan
Abd bin Humaid dan Ibnu Mundzir dengan isnad yang baik.
Dan yang berpendapat demikian juga Ibnu Abbas, sebagaimana diriwayatkan darinya oleh
Ibnu Jarir dan Abu Bakar bin Abu Syaibah dari dua jalan dengan sanad yang baik dan shahih.
(Lihat, Dar al-Mantsur, 2/165)
Dan di antara Tabi’in yang berpendapat demikian adalah Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, al-
Hasan bin Muslim bin Yunaq al-Makkiy.
Dan penafsiran yang demikian disebarluaskan oleh ulama adh-Dhahiriyah, khususnya al-
Imam Ibnu Hazm dan ulama al-Hanafiyah meskipun mereka juga mengharamkan wanita haid
dan orang junub masuk masjid berdasarkan hadits Jasyrah binti Dajajah yang akan dibahas
selanjutnya.
Berkata al-Imam an-Nawawiy: Berkata shahabat Abu Hanifah bahwa yang dimaksud ayat
tersebut adalah seseorang yang bepergian (musafir) jika dalam keadaan junub dan tidak
mendapati air diperbolehkan baginya bertayamum dan mendirikan shalat meskipun sifat
junub masih ada karena yang dimaksudkan adalah hakekat shalatnya. Dan ulama Hanafiyah
yang berpendapat demikian adalah al-Murghinaniy dan Ibnu Hamam dan selain keduanya.
Adapun tafsir yang kedua, yang mengatakan bahwa maksud عَابِرِي سَبِيل alah sekedar berlalu
di dalam masjid tidak bersumber dari seorangpun dari Shahabat sebagaimana yang saya
(penulis) ketahui, dan diriwayatkan dengan sanad yang lemah dari Abdullah bin Mas’ud,
Abdullah bin Abbas. Dan adapun dari kalangan Tabi’in pendapat yang demikian dinisbatkan
5
kepada Said bin Musyaiyib, al-Hasan al-Bashriy, Ibrahim bin Yazid an-Nakha’iy, Zaid bin
Aslam; dan diriwayatkan dengan sanad yang lemah dari ‘Atha’, Abu ‘Ubaidah ‘Amir bin
Abdullah bin Mas’ud, Ikrimah, Said bin Zubair dan Zuhriy. Dan yang berpendapat demikian
juga al-Imam as-Safi’i.
Dan penafsiran yang demikian dikuatkan oleh Ibnu Jarir dengan mengatakan: “Bahwa yang
kuat di antara dua penakwilan perihal ayat tersebut adalah yang mengatakan :
Dan وَلاَجُنُبًا إِلاَّعَابِرِي سَبِيلٍ bermakna sekedar berlalu di dalam masjid, karena hukum seorang
musafir apabila tidak mendapatkan air padahal dalam keadaan junub telah dijelaskan dalam
firman-Nya dalam surat al-Maidah:6
Dengan demikian dapat difahami sekiranya عَابِرِي سَبِيلٍ bermakna musafir, maka Allah Ta’ala
tidak akan menyebutnya kembali dalam ayat tersebut (Q.S al-Maidah: 6) sebagaimana yang
dikatakan oleh jumhur ulama’ (Lihat, Tafsir Ibnu Katsir, 1/502).
Adapun Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa larangan yang terkandung di
dalam ayat (Q.S an-Nisa’:34) adalah mendirikan shalat dan mendekati tempatnya juga.
(Lihat, al-Fatawa al-Kubraa, 1/126).
Sebab Kedua:
Adanya perbedaan dalam pengambilan dalil dalam hadits yang bersumber dari Jasyrah binti
Dajajah dari ‘Aisyah, beliau berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“……maka sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi seorang wanita
haid dan seorang yang junub.“(HR. Abu Dawud, no. 232)
Dan dari jalan yang lain, darinya juga dari Ummu Salamah, beliau berkata bahwa Rasululklah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “…..Sesungguhnya masjid tidak halal bagi
seorang junub dan seorang wanita haid.”(HR. Ibnu Majah, no. 645)
Aku (penulis) mengatakan: Telah berselisih pendapat di antara para ulama dalam
pengambilan dalil hadits ini dengan perselisihan yang tajam.
Terhadap hadits yang pertama, telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, asy-Syaukaniy, dan
dihasankan oleh Ibnu Khaththan , al-Zaila’iy, dan Ibnu Sayidun Nas serta dilemahkan oleh
Ibnu ar-Ruf’ah, dan dia mengatakan perawi hadits ini matruk.
Dan di antara ulama yang mengganggap bahwa hadits ini lemah dengan komentar yang
berbeda-beda adalah al-Baihaqi, al-Khaththabiy, al-Hafidz Ibnu Abdil Baar al-Andulusiy, al-
Hafidz al-Mundziriy. Dan al-Bukhariy mengatakan: Pada diri Jasyrah terdapat keanehan.
Adapun hadits yang kedua, dilemahkan oleh al-Hafidz al-Bushairiy, dan Ibnu Hazm.
Syaikh al-Albaniy mengatakan: “Bahwa dua hadits tersebut bersumber dari sanad yang sama
(tidak sebagaimana yang ada, satu bersumber dari ‘Aisyah dan yang lainnya bersumber dari
Ummu Salamah –red), sehingga dengan demikian Jasyrah binti Dajajah seorang mudhtharib
(lemah dalam meriwayatkan dan tidak kuat hafalan), suatu ketika meriwayatkan dari ‘Aisyah
dan pada saat yang lain dari Ummu Salamah. (Lihat, Tamamul Minnah, 1/4)
Kesimpulan Analisa
Setelah terpaparkan penjelasan di atas, maka pendapat yang paling kuat adalah
sebagaimana yang dikatakan oleh adh-Dhahiriyah Dawud bin Ali, Ibnu Hazm al-Andulusiy,
disamping Abu Bakar bin al-Mundzir, al-Muzanniy shahabat asy-Syafi’i bahwa diperbolehkan
6
bagi seorang junub dan yang sejenisnya seperti wanita haid, dan nifas masuk ke dalam
masjid secara muthlak, baik berdiam diri, berlalu (lewat), atau bukan karena sebab apa-apa
(tidak ada keperluan), meskipun sebaiknya dalam keadaan suci baik dari hadats besar
ataupun hadast kecil.
Hanya saja sekiranya tidak dalam keadaan suci maka tidak terlarang baginya masuk ke dalam
masjid dan tidak berdosa dengan alasan sebagai berikut:
Pada asalnya setiap sesuatu itu mubah (boleh) dilakukan, sementara tidak ada dalil
shahih yang dapat dijadikan dasar bahwa hal ini adalah haram dengan alasan:
a. Bahwa tafsir QS. an-Nisa’ ayat 43 yang kuat adalah “Sesungguhnya Allah Ta’ala
melarang orang yang mabuk mendirikan shalat dan mendekatinya sampai
kemudian dia sadar apa yang dikatakan, sebagaimana Allah Ta’ala
melarang orang junub melakukan demikian sampai kemudian dia mandi,
akan tetapi diperbolehkan baginya dalam satu kondisi tertentu manakala
dia bepergian dan tidak mendapatkan air, maka dia harus tayamum
kemudian shalat.”
b. Adapun tafsir yang kedua sebagaimana penafsiran golongan yang mengharamkan
bahwa yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah seorang junub terlarang
mendekati tempat shalat, yaitu masjid hingga dia mandi dan diperbolehkan baginya
berlalu (lewat) dan tidak berdiam diri merupakan penafsiran yang lemah dilihat dari
beberapa hal:
1. Secara asal setiap ungkapan dalam kaidah bahasa Arab harus difahami secara
tekstual (haqiqah) dan tidak boleh di artikan secara majaz (kiasan) kecuali tidak
memungkinkan atau adanya qarinah (pendukung/isyarat) yang menunjukkan
makna kiasan. Padahal tidak ada halangan sama sekali ayat tersebut ditafsirkan
apa adanya sebagaimana tidak adanya pendukung sama sekali sehingga dapar
ditafsirkan secara majaz.
Dengan demikian wajib ditafsirkan menurut konteks yang ada, yaitu bahwa
yang dimaksudkan dalam kalimat shalat adalah dzat shalat itu sendiri dan bukan
tempat shalat (masjid) sebagaimana yang dikatakan golongan yang melarang.
Dan sekiranya yang dimaksudkan demikian tentunya Allah Subahaanahu wa
Ta’ala akan menjelaskannya, karena bagi-Nya sangatlah mudah. Oleh
karenanya tidak boleh disangkan bahwa Allah Ta’ala hendak mengatakan:
“Janganlah kalian mendekati tempat shalat” sementara terhadap kita hanya
mengatakan: “Jangalah mendekati (mendirikan) shalat.” Sebagaimana yang
dikatakan Ibnu Hazm. (al-Muhallaa, 2/174-175)
2. Bahwa penakwilan ayat tersebut bagi golongan yang mengharamkan
menimbulkan penafsiranya sebagian ayat berbeda dengan ayat yang lain, di
mana mereka menafsirkan kata “shalat” dalam kalimat yang pertama khusus
bagi orang yang mabuk dengan makna dzat shalat itu sendiri, sementara dalam
kalimat yang kedua mereka menafsirkannya dengan “tempat shalat” bagi orang
junub. Padahal semestinya secara adil kata “shalat” yang terdapat dalam dua
tempat yang berbeda harus diartikan sama, baik secara apa adanya ataupun
majaz (kiasan), yaitu baik diartikan dzat shalat itu sendiri atau tempat shalat.
Namun demikian tidak dibenarkan mengartikan kalimat pertama dengan majaz,
karena yang seperti ini tak seorangkun dari ulama yang mengatakan demikian
sehingga diharamkan bagi seorang yang mabuk mendekati masjid sementara
dia suci dari hadats besar apalagi pada saat itu minuman keras (Khamr) belum
diharamkan.
Dengan demikian tidak ada jalan lain kecuali membawa makna kalimat
keduanya dengan cara apa adanya (tekstual), sehinga bagi mereka yang
7
mengharamkan wanita haid dan orang junub masuk masjid tidak ada dalil
baginya yang dapat dijadikan dasar pengharamannya.
Kalau sekiranya kata “shalat” dalam kalimat yang kedua kita artikan tempat
shalat, maka akan menghasilkan hukum yang sangat aneh yang sebelumnya
tidak pernah terbersit oleh setiap muslim, yaitu tidak diperbolehkan bagi orang
junub dan wanita haid berdiam diri dan tinggal di manapun yang bersih dari
najis kecuali makam dan toilet, karena kesemuanya adalah tempat sujud dan
tempat shalat, dan bukanlah masjid saja. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Dijadikan bumi ini bagiku tempat yang baik, alat
bersuci dan masjid (tempat sujud), maka bagi siapapun yang telah datang
waktu shalat agar shalat di mana saja.” (HR. Muslim, 5/32 dan Abu Dawud, no.
489) Dan dalam hadits yang lain beliau bersabda: “Dijadikan bagi kami bumi ini
keseluruhannya adalah masjid, dan dijadikan debunya bagi kami alat bersuci
apabila tidak ada air.” (HR. Muslim, 5/4)
Dan telah datang dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga yang menjelaskan
bahwa beliau telah memerintahkan kaum wanita termasuk di dalamnya wanita
haid keluar ke tanah lapang untuk menghadiri shalat ied sebagaimana
diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah al-Anshariyah, dia berkata: “Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada kami agar
mengajak untuk shalat Iedul Fithri dan Iedul Adha para gadis, wanita
haid dan wanita yang dipingit, maka terhadap wanita haid tidak
melakukan shalat…..”(HR. al-Bukhari dan Muslim).
Maka selagi masjid tidak berbeda dengan tempat-tempat yang suci selainnya
dalam sisi dapat digunakan sebagai tempat shalat, dalil apa yang dapat
dijadikan landasan sehingga masjid dikhususkan daripada tempat-tempat yang
lain sehingga terlarang (bagi wanita haid dan orang junub)????
c. Bahwa penafsiran pertama bersumber dari para shahabat sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Ali bin Thalib dan Ibnu Abbas, dan tidak diketahui bahwa
keduanya menyelisihi shahabat yang lain sementara penafsiran yang kedua tidak
bersumber dari mereka, dan mereka adalah sebaik-baik masa dan yang paling
faham terhadap Kitab Allah Ta’ala.
Syubhat dan Jawaban
Adapun syubhat (kejanggalan) yang dilontarkan oleh Ibnu jarir terhadap penafsiran pertama
dan didukung oleh Ibnu Katsir, bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’ala telah menjelaskan hukum
yang berkaitan dengan musafir yang tidak mendapati air pada QS. al-Maidah ayat 6 dan
sekiranya yang di maksudkan وَلاَجُنُبًا إِلاَّعَابِرِي سَبِيلٍ dalam ayat 43 dalam Qs. an-Nisa’ adalah
musafir maka ada pengulangan dalam ayat, dan yang demikian tidaklah layak berkaitan
denga perkataan Allah.
Aku (penulis) katakan sebagaimana hal ini dijelaskan oleh asy-Syaikh al-Albaniy: “Dalam
perkara ini tidak ada permasalahan dan pengulangan, dikarenakan ayat yang satu berbicara
suatu permasalahan dan ayat yang lain berbicara permasalahan yang lain. Di mana dalam
ayat yang pertama menjelaskan haramnya seorang yang mabuk dan junub mendirikan shalat
kecuali dalam keadaan safar (bepergian) saja dan tidak menjelaskan dan menerangkan
secara gamblang apa yang seharusnya dia lakukan, sehingga pada ayat yang lain dijelaskan
dan diterangkan apa yang semestinya dilakukan oleh seorang musafir yaitu dengan tayamum
dan mendirikan shalat dan tayamum cukup sebagai ganti mandi.
8
a. Dan adapun pengambilan dalil atas hadits yang diriwayatkan dari Jasyrah al-Dajajah
yang bersumber dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah dalam permasalahan ini tidaklah tepat
dan lemah dari sisi sanadnya (perawi), karena Jasyrah seorang yang tidak dikenal
bahkan dia tercela (ada cacat) serta tidak ada seorangpun yang terkenal ketsiqahannya
(dipercaya) mengganggap dia tsiqah, kecuali Ibnu Hibban dan al-‘Ajaliy. Al-Bukhariy
mengatakan bahwa pada diri Jasyrah ada keanehan. (sebagaimana yang dinukil oleh al-
Baihaqi dalam Sunannya, 2/443 dan Ibnu Hajar dalam at-Tahdzib, 12/406)
Dengan demikian, tidak ada jalan lagi untuk menshahihkan dan menghasankan hadits
Jasyrah, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama’ sehingga tidak dapat
dijadikan dalil dan dasar dalam permasalhan ini.
b. Telah termaktub di dalam as-Sunnah bahwa ahlush Shuffah suatu ketika bermalam di
dalam Masjid Nabawiy, dan mereka dari kalangan pemuda perjaka yang tentunya
memiliki kemampuan lebih dari sisi biologis di mana merupakan hal yang sangat biasa
dan tidak bisa dipungkiri kalau kemudian mereka bermimpi dan berhadast besar (junub),
namun demikian Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang mereka berdiam diri
di masjid dan menetap di dalamnya. Dan sekiranya yang demikian adalah haram
tentunya beliau melarang tau memerintahkannya keluar. Dan manakala hal ini tidak
dilakukan, maka menunjukkan diperbolehkannya seorang yang junub berdiam diri di
masjid.
c. Telah termaktub di dalam as-Sunnah juga suatu saat walidah Sauda’ seorang budak tidur
dalam rumah kecil yang terbuat dari bulu yang berada dalam masjid, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Aisyah(HR. al-Bukhari, 1/124; 244 dari Mukhtashar al-
Albaniy dan Fathul Bari, 2/80; 8/150).
Maka pada situasi seperti ini tentunya sebagaimana kebiasaan seorang wanita, dia akan
mengalami masa haid, namun Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak merang dia tidur
di dalamnya. Dan sekiranya yang demikian terlarang maka Nabi sama sekali tidak akan
memperkenankan sama sekali.
d. Nabi mendiamkan dan memerintahkan terhadap sebagian orang-orang musyrik berdiam
diri di dalam Masjid Nabawiy, sebagaimana yang termaktub di dalam as-Sunnah yang
menjelaskan sejumlah orang-orang musyrik berdiam diri di masjid Nabawiy dan tidur di
dalamnya sepengetahuan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahkan kenyataanya Nabi
memerintahkannya sebagaimana yang diriwayatkan Abu Hurairah, dia berkata: “Bahwa
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan berkuda ke arah Najd, kemudian
pasukan itu membawa seorang laki-laki dari bani Hunaifah bernama Tsumamah bin
Atsaal, kemudian mereka mengikatnya di serambi dari serambi-serambi masjid.” (HR. al-
Bukhari, 2/102 dari Fathul Baari dan Abu Dawud, 2/452; 3/82) dan hadits-hadits yang
lain.
Dan tidak dapat dipungkiri bahwa orang musyrik lebih parah kondisinya dari sisi
kesuciannya daripada seorang muslim yang junub, karena tidak ada dosa yang lebih
besar lagi selain kekufuran dan orang musyrik dalam kondisi apapun dalam keadaan
junub karena seringnya mereka dalam kondisi demikian dan tidak ada tuntunan bagi
mereka mandi besar (janabah). Dan meskipun mereka mandi tentulah mandinya mereka
tidak ada artinya apa-apa.
Maka manakala seorang kafir yang terkumpul pada dirinya kesyirikan dan hadast besar
boleh secara syara’ masuk masjid Nabawiy dan berdiam diri (tinggal) di dalamnya
padahal merupakan masjid yang paling suci dan mulia setelah masjil Haram, maka
masuk ke dalam masjid-masjid yang biasa dan berdiam diri di dalamnya bagi seorang
muslim yang junub lebih mendapat legalitas karena dia suci dalam kondisi apapun.
9
e. Nabi Shalallaahu ‘alaihi sallam tidak melarang ‘Aisyah ketika datang haid
masuk ke dalam Masjidil Haram ketika haji, dan hal ini terjadi pada haji wada’
dengan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat HR. al-Bukhari dan
Muslim; serta Ahmad dalam Musnadnya, 12/103)
Di dalam hadits ini Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperkenankan ‘Aisyah ketika
datang haid menunaikan seluruh aktifitas ibadah haji selain shalat dan thawaf. Dan tidak
dapat dipungkiri bahwa yang bisa dilakukan oleh jama’ah haji adalah masuk masjidil
Haram, sementara yang demikian tidak dikecualikan oleh Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa
sallam sebagaimana beliau mengecualikan shalat dan thawaf. Maka hal ini menunjukkan
yang demikian boleh bagi seorang wanita haid. Dan kalau sekiranya hal yang demikian
terlarang, maka Nabipun menjelaskannya karena hukum yang demikian dibutuhkan.
f. ‘Aisyah juga berkata: Berkata Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam: Ambilkan untukku
al-Humrah (sejenis sajadah) dari masjid. Maka ‘Aisyah berkata: Sesungguhnya aku
sedang haid, maka Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya haid kamu tidak ada di
tanganmu.”
Dalam hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah memerintahkan kepada ‘Aisyah agar
masuk ke dalam Masjid Nabawiy dan mengambilkan al-Humrah dari masjid, namun
dalam kondisi pada saat itu ‘Aisyah ragu sebagaimana keraguan yang terjadi pada
kebanyakan orang di zaman sekarang, dan dia mengira Nabi tidak tahu atau lupa bahwa
dia dalam keadaan haid sehingga dia mengabarkannya, dan pada saat itu Nabi
menjawab: “ Sesungguhnya haid kamu tidak di tanganmu.”, yaitu bahwa darah yang
biasa keluar setiap bulan bagi seorang wanita -yang dengannya masjid akan terjaga
darinya karena najis- tidak ada di tangannya, sehingga tidak mengapa kalau dia masuk
ke dalam masjid, karena dia tidak akan mengotori dan membuat masjid menjadi najis.
Dengan demikian berdasarkan sabda Rasulullah di atas dapat dikatakan bahwa darah
haid seorang wanita tidak di kakinya, namun di tempat yang telah diketahui dan
kebiasaan wanita adalah selalu menjaga diri dan pakainnya dari kotoran darah haid
apalagi tempat duduknya atau yang dilewati. Kalau kondisinya demikian maka tidak ada
seatu yang dapat dijadikan alas an sehingga dia takut masuk ke dalam masjid.
Dan hadits ‘Aisyah ini, merupakan dasar dan dalil yang paling jelas dalam permasalahan
ini. Dengan demikian kalau seorang wanita haid tidak terlarang masuk ke dalam masjid
dan berdiam diri (tinggal) di dalamnya, maka orang junub lebih berhak lagi, karena najis
yang ada padanya adalah najis ma’nawiyah (secara makna) dan bukan secara fisik
sebagaimana haid yang terjadi pada seorang wanita.
g. Hadits di atas juga dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang
mengabarkan dia bertemu dengan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam di sebuah jalan
Madinah dan dia dalam keadaan junub, kemudian secara diam-diam dia pergi. Maka
Rasulullah merasa kehilangan, sehingga ketika dia datang kepada beliau, Rasulullah
bertanya: Diamana anda tadi wahai Abu Hurairah? Dia menjawab: Wahai Rasulullah
anda menjumpaiku dan aku dalam keadaan junub, sementara aku tidak suka duduk
bersamamu hingga aku mandi. Maka Rasulullah bersabda: Maha suci Allah,
sesungguhnya seorang mukmin tidak najis.” (HR. Muslim, 4/66-67 dalam syarah an-
Nawawiy)
Di dalam hadits ini secara implisit telah jelas-jelas menunjukkan bahwa seorang mukmin
adalah suci tidak najis dalam kondisi apapun, baik dia berwudhu atau tidak, suci dari
hadats besar atau junub. Dan selagi dia suci, maka tidak ada sesuatupun yang dapat
menghalangi dia masuk masjid dan berdiam diri(tinggal) di dalamnya.
h. Bahwa pendapat ini merupakan pendapat para shahabat secara umum, sebagaimana
yang diriwayatkan al-Imam Abu Bakar bin Abu Syaibah 9di dalam Mushannif, 1/46; 172)
10
dari Zaid bin Aslam, dia berkata: Suatu ketika seorang di antara mereka (shahabat)
dalam keadaan junub kemudian masuk masjid dan berbicara di dalamnya”
Berita ini telah menunjukkan waktu itu para shahabat ada yang berhadast besar (junub)
dan mereka masuk masjid, dan mereka adalah murid dan shahabat Nabi Shallallaahu
‘alaihi wa sallam yang dari beliau mereka mengambil tuntunan dan mereka tidak
merubah dan menggantinya sehingga mendapatkan pujian dan sanjungan dari Allah
Subhahaanahu wa Ta’ala dan Rasulullah-pun memberikan rekomendasi kepada mereka.
Dan pada dasarnya apa yang dilakukan oleh mereka telah mendapat persetujuan Nabi
Shallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan sangatlah tidak mungkin mereka melakukan setiap
amalan setelah beliau berdasarkan pendapat pribadi semata, padahal dalam
permasalahan ini sangat dimungkinkan terjadi perpedaan pendapat di antara mereka
sehingga segolongan dari mereka berpendapat dengan pendapat tertentu dan selain
mereka berpendapat yang lain. Wallahu a’lamu bish shawab.
i. Di samping dalil-dalil naqli (hadits) di atas, maka secara akal-pun dapat disimpulkan
bahwa seorang wanita haid manakala masuk masjid terkandung padanya manfa’at dan
faedah yang banyak, yang terpenting adalah hadirnya mereka di tempat iyu adalah
untuk menuntut ilmu, fiqh, dan berdzikir yang dapat menghubungkan dengan Rabb-nya.
Dan yang demikian sesuai dengan sabda Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam, ketika
beliau bersabda: “Janganlah kalian melarang wanita (mendapatkan) bagian
mereka dari masjid apabila mereka meminta izin kalian.” (HR. Muslim dari
Umar). Dalam hadits yang lain beliau bersabda: “Janganlah kalian melarang hambahamba
(wanita) Allah akan tetapi janganlah mereka keluar dan mereka
memakai wewangian.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Abu Hurairah, dan
dishahihkan oleh al-Albaniy dalam Shahih al-Jami’, no. 7334). Dan di dalam hadits yang
lain beliau bersabda: “Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian (pergi)
ke masjid dan rumah-rumah mereka lebih baik baginya.” (HR. Ahmad, Abu
Dawud dan al-Hakim dan dishahihkan oleh al-Albaniy dalam Shahih al-Jami’, no. 7335)
Maka bagi siapa saja yang merenungkan hadist-hadits di atas, dan memperhatikan
hikmah yang terkandung di dalamnya akan mengetahui bahwa Allah Subhaanahu wa
Ta’ala menghendaki seorang wanita muslimah senantiasa dalam keadaan berhubungan
dengan Allah Ta’ala untuk meningkatkan keimanan dirinya dan mendekatkan diri kepada-
Nya dengan harapan ilmu agamanya bertambah dan akhlak serta ibadahnya semakin
baik. Sementara tempat yang dapat dijadikan pusat yang demikian adalah masjid,
sehingga para lelaki tidak bileh melarang wanita-wanita mereka pergi ke masjid padahal
shalatnya mereka di rumah lebih utama dan agung pahalanya daripada shalat di masjid.
Dengan demikian, maka yang terkandung dari kemurahan Islam bagi tiga golongan di
atas, yaitu orang junub, wanita haid dan nifas adalah boleh masuk ke dalam masjid
faedah yang amat besar bagi mereka yang memiliki akal yang mau merenung dan
lapang dada.
11
Perhatian
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2
SELAMAT DATANG
terimakasih telah berkunjung
KUMPULAN JUDUL TESIS MANAJEMEN KLIK
KUMPULAN JUDUL TESIS STUDI AGAMA ISLAM KLIK
KUMPULAN JUDUL Keperawatan KLIK
KUMPULAN JUDUL Tesis PAI USA KLIK
KUMPULAN JUDUL TESIS AHWAL SYAHSHIYAH KLIK
KUMPULAN JUDUL TESIS PENDIDIKAN GURU MADRASAH KLIK
MOHON MAAF JIKA PENGUNJUNG TERGANGGU DANGAN IKlAN :-)
sekiranya mengganggu segera di tutup saja
alhamdulilah, blog dikunjungi 400 orang / hari :-)
kami adalah jasa pencari referensi ILMIAH
hub.0857-351-08864
terimakasih telah berkunjung
KUMPULAN JUDUL TESIS MANAJEMEN
KUMPULAN JUDUL TESIS STUDI AGAMA ISLAM
KUMPULAN JUDUL Keperawatan
KUMPULAN JUDUL Tesis PAI USA
KUMPULAN JUDUL TESIS AHWAL SYAHSHIYAH
KUMPULAN JUDUL TESIS PENDIDIKAN GURU MADRASAH
MOHON MAAF JIKA PENGUNJUNG TERGANGGU DANGAN IKlAN :-)
sekiranya mengganggu segera di tutup saja
alhamdulilah, blog dikunjungi 400 orang / hari :-)
hub.0857-351-08864
No comments:
Post a Comment